Minggu, 27 Januari 2013

Kumpulan Artikel Anak



 

1.              KUMPULAN ARTIKEL ANAK

 

Anak Korban Perilaku Menyimpang Ibu

 

Yayah Hidayah, M.si.
Ibu, sosok yang akan terus memberi rasa kasih, sayang, kelembutan, cinta, dan perlindungan kepada anaknya, tanpa kenal batas waktu. Ibu yang baik akan menjadi pahlawan bagi anaknya. Ia akan berjuang mati-matian demi keselamatan anaknya. Maka, jika ada perilaku seorang ibu yang menyia-nyiakan anaknya, berarti ia patut dicurigai memiliki perilaku yang menyimpang.
Sebab, pola asuh yang baik dan memadai semasa balita, sangat urgen demi perkembangan fisik dan psikis anak. Menurut Wenar (1991), ketiadaan pengasuhan yang memadai setelah terbentuknya ikatan cinta kasih di antara anak dengan pengasuh, akan menyebabkan perilaku anak yang menyimpang. Karena dampak dari rasa kehilangan akan sangat dirasakan sebagai suatu penolakan atau pengabaian.
Anak balita yang dipisahkan dari orangtuanya, baik karena terpaksa atau disengaja, akan tumbuh dalam jiwanya perasaan tak aman dan tak nyaman. Ia akan mengalami gangguan kepribadian atau kesulitan menyesuaikan diri di masa mendatang.
Dengan pemahaman yang masih terbatas dan sempit tentang suatu kejadian yang menimpanya, anak akan memahami bahwa peristiwa yang ia alami sebagai bentuk penolakan atas keberadaan dirinya. Ia akan merasa tidak cukup dipandang dan tidak berharga di mata keluarganya, hingga tak pantas untuk dicintai. Jika hal ini berlanjut hingga anak menyadari -selepas masa balita-, maka akan timbul trauma dalam pembentukan identitas dan penyesuaian dirinya dalam kehidupan.
Karena itu, perilaku ibu dan kepribadiannya harus diperhatikan, agar perkembangan kepribadian anak yang diasuhnya tidak terganggu. Berikut ini beberapa aspek psikologis negatif ibu yang sangat berbahaya terkait pengasuhan anak.
Gangguan Jiwa
Peneliti Rose Cooper Thomas yang melakukan penelitian terhadap hubungan ibu dan anak, menemukan bahwa ibu yang mengalami gangguan jiwa schizophrenia (kecenderungan perilaku yang acuh tak acuh), dominan atau cenderung akan menghasilkan karakter anak yang perilakunya suka memberontak, jahat, menyimpang, bahkan anti-sosial. Namun ada pula anak akan menjadi suka menarik diri, pasif, terlalu tergantung dan kelewat penurut.
Peneliti lain mengemukakan bahwa gangguan jiwa ibu akan berakibat terganggunya perkembangan identitas anak. Dan gangguan obsesif kompulsif yang dialami orangtua juga sangat erat berdampak pada sikap mereka untuk mengabaikan anaknya. Sebab, gangguan ini menjadikan penderitanya lebih banyak memikirkan dan melakukan ritual-ritual sendiri daripada tanggung jawab mengasuh anaknya.
Ada lagi gangguan kejiwaan ibu yang berbahaya bagi anak. Yaitu Munchausen Syndrome by Proxy (MSbP), berupa gangguan mental yang biasa dialami wanita atau seorang ibu terhadap anaknya. Biasanya terjadi pada bayi atau anak balita.
Dalam penyakit yang digambarkan pertama kali oleh Meadow pada tahun 1977 ini, dideteksi adanya unsur kebohongan yang bersifat patologis dalam kehidupan sehari-hari ibu yang terus menerus. Pada kasus yang parah, ibu yang melakukannya justru kelihatan lemah lembut dan baik. Gangguan jiwa yang berbahaya ini bisa berakibat pada kematian anak. Karena pada banyak kasus, ditemukan ada ibu yang sampai hati menyekap, atau mencekik, bahkan meracuni anaknya.
Pada kasus-kasus ini sering ditemukan adanya sejarah gangguan perilaku antisosial pada ibu, mungkin disebabkan pengalaman yang dialami oleh ibu itu pada pola asuh yang salah dari orang tuanya. Pada kasus lain ditemukan bukti bahwa ternyata ibu tersebut mengalami gangguan somatis seperti contohnya (menurut istilah medis) gangguan neurotik, hypochondria, atau gangguan yang bersifat semu lainnya). Ditemukan pula, bahwa ibu-ibu yang tega melakukan hal ini terhadap anaknya ternyata mengalami gangguan kepribadian yang cukup parah.
Depresi
Peneliti Chaffin, Kelleher dan Hollenberg (1996) terhadap anak-anak yang orangtuanya mengalami depresi atau psikopatologi menemukan fakta banyaknya anak yang mengalami penyiksaan fisik. Akibatnya, korban anak-anak dilaporkan mengalami banyak masalah kejiwaan, seperti depresi, interpersonal, perilaku yang aneh dan bermasalah dalam belajar.
Pecandu Minuman
Keluarga alkoholis cenderung tidak stabil. Segala aturan dapat berubah setiap waktu, dan seringnya mudah mengingkari janji. Kecenderungan ini terbawa pula dalam urusan pola asuh mereka terhadap anak. Pola asuh yang diterapkan orangtua alkoholis akan sering berubah-ubah secara acak. Ini menyebabkan tidak ada celah bagi anggota keluarga untuk mengungkapkan perasaan secara normal, karena banyaknya batasan, aturan dan larangan dalam keluarga.
Karena hal ini merupakan aib keluarga, biasanya anggota keluarga akan menutupnya agar tidak diketahui orang lain. Situasi ini akan melahirkan perasaan tertekan, frustrasi, marah, tidak nyaman dan gelisah di hati anak. Ia akan sering berpikir bahwa ia telah melakukan suatu kekeliruan yang menyebabkan orangtuanya memiliki kebiasaan buruk. Akibatnya, akan timbul rasa tak percaya, kesulitan mengekspresikan emosi secara tepat, dan kesulitan menjalin hubungan sosial yang erat. Dan masalah ini akan terus terbawa hingga ia dewasa.
Menurut para ahli, anak-anak dari keluarga seperti ini lebih beresiko mengembangkan kebiasaan alkoholis di masa dewasa. Menurut Chaffin, Kelleher dan Hollenberg (1996), para pecandu obat terlarang, menjadi faktor paling umum penyebab terjadinya penyiksaan dan pengabaian terhadap anak, dan pengasuhan anak dengan cara yang keliru.
Masalah Perkawinan
Keluarga yang bermasalah, akan berpengaruh pada ketidak-keharmonisan keluarga, dan dampaknya akan buruk pada kehidupan emosional anak. Karena para anggota keluarga akan kian merasakan beban mental atau tekanan emosional yang terus meningkat. Beban ini akan semakin berat apabila suasana keluarga terasa mencekam, tak ada yang berani mengemukakan emosi, pikiran, dan tiada lagi keleluasaan untuk bertindak.
Pada umumnya, anak akan menjadi korban pelampiasan ketegangan, kecemasan, kekesalan, kemarahan dan segala emosi negatif yang tidak bisa dikeluarkan itu. Sebab, anak berada pada posisi lemah, sehingga mudah menjadi sasaran agresivitas orangtua tanpa perlawanan.

 

 

Jangan Kambinghitamkan Anak Bandel

 

Dia Hidayati Usman MA
Dosen STAI Shalahuddin al-Ayyubi Jakarta
Banyak buku ditulis tentang cara mendidik anak. Tapi tulisan mengenai kesalahan mendidiknya jarang kita temukan. Kalaupun ada, jumlahnya hanya sedikit. Sehingga tak heran jika banyak orangtua sangat mudah langsung menyalahkan/mengkambinghitamkan anak ketika melihat si anak sedikit bandel.
Saat Umar ibn Khaththab RA mejadi khalifah, pernah datang seorang ayah melaporkan perbuatan anaknya yang dianggap tidak baik. Umar tak lantas membenarkan laporan tersebut. Ia minta didatangkan anak yang diadukan itu. Dan dari laporan anak, Umar tahu, ada kesalahan si ayah dalam mendidik. Di antaranya, terlalu kasar dan kurang peduli (cuek).
Karena itu, ada baiknya kita perhatikan beberapa kesalahan berikut ini yang umumnya terjadi dalam mendidik anak:
Pertama, berlebihan memenuhi keinginan anak. Tidak sedikit orangtua yang mengira bahwa mewujudkan semua keinginan anak adalah hal terbaik. Padahal sebaliknya. Pada usia tahun pertama, si kecil mungkin masih belum mengerti. Tapi menginjak tahun kedua, ia akan mulai paham dan banyak meminta. Di masa itulah orangtua dapat membiasakan anak untuk memahami batasan hidup, tentang pemborosan, hak orang lain, hingga soal keharusan bersedekah.
Kedua, perfeksionis. Kesalahan terbesar bagi orangtua adalah menuntut anak agar selalu tampil sempurna. Di sekolah ia harus ranking pertama. Tak boleh gagal sama sekali. Anak dipaksa bekerja keras mewujudkannya.
Memang, siapapun pasti ingin anaknya sempurna dan terbaik. Tapi ketika anak tak mampu menggapai harapan, maka ia akan merasa lemah, jiwanya pun akan ditunggangi rasa kekurangan. Sebaiknya, orangtua cukup memberi motivasi dan menumbuhkan jiwa optimis anak agar ia sukses dan sempurna menyikapi segala hal yang dihadapinya.
Ketiga, over doktrin. Maksudnya, berlebihan dalam memberi perhatian kepada anak, sampai pada tingkat mengekang kebebasan bergeraknya. Contoh, ketika si kecil sedang asik bermain dengan mainan yang kesenangannya, tiba-tiba ibu memanggil dan memaksanya untuk mandi, atau melakukan hal lain.
Anak biasanya akan meronta dan menangis. Ia akan merasa telah terampas dan kehilangan saat yang paling menyenangkan. Jika ketidakbebasan itu sering ia rasakan, niscaya jiwa kemandiriannya akan rapuh. Ia akan terus bergantung pada orangtua dalam setiap tantangan dan kesempatan yang dihadapi. Ia tak akan pernah bisa membuat keputusan sendiri.
Keempat, over punishment. Orangtua cenderung mudah memberi hukuman yang tidak sesuai dengan tingkat kesalahan anak. Ketika sebuah kesalahan lahir karena ketidakmatangan anak secara akal, maka sangat tak pantas orangtua menghukumnya.
Anak seperti itu, cukup diperingati dan diarahkan. Berbeda dengan anak yang sudah matang akal dan fisik, tapi sering mengulang kesalahan. Ia patut diberi hukuman ringan dan bertahap, sampai pribadinya membaik dan menyadari kesalahannya.
Kelima, lalai. Banyak orangtua tidak menyempatkan diri untuk bermain bersama anak. Padahal, anak sangat butuh kehangatan bermain bersama orangtuanya. Dengan aktivitas ini, jiwa anak akan tenang dan bahagia, karena banyak hal yang bisa ditanyakan dan dibagi saat bermain bersama.
Dengan bermain bersama, orangtua juga akan tahu perkembangan jiwa dan fisik anak secara langsung. Hingga kemudian orangtua akan mudah membelikan mainan yang cocok dan disenangi anaknya.
Keenam, membeda-bedakan perlakuan antaranak. Kecenderungan ini memang agak sulit untuk dihindari, karena kadang terjadi akibat perbedaan usia dan tuntutan anak. Namun bagaimanapun juga, orangtua harus bijak menyikapinya, agar tak timbul rasa iri dan permusuhan di antara anak. Patut diingat, wilayah ini sangat sensitif, dan menuntut kehati-hatian orangtua melakoninya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memahami Keunikan Diri

Agus Riyanto
Motivator, Penulis buku Born To Be A Champion: Menguak Fakta Diri Untuk Meraih Kemenangan Sejati
Seorang sahabat memaparkan pertanyaan sepanjang satu halaman ke email saya. Inti yang dimaksud adalah apakah manusia itu dilahirkan dengan kemampuan otak yang sama atau berbeda? Tentang kreativitas seseorang, kenapa antara yang satu dengan yang lain berbeda. Mengapa ada yang “wah” dan ada yang “biasa-biasa” saja? Tentang beberapa bangsa di bumi ini; kenapa ada yang bisa menciptakan peradaban dan teknologi tinggi, tapi kita tidak atau belum bisa seperti itu? Apa karena makanan, lauk, minuman, orangtua atau keluarga? Ataukah semua itu karena takdir?
Ada hal menarik, sahabat penanya itu ternyata seorang gadis yang baru lulus SMA, dan sedang magang kerja di sebuah perusahaan. Itu artinya pemikirannya sudah cukup maju, karena kebanyakan gadis seumur dia, yang dipikirkan hanya tentang pacar atau hal-hal sepele dalam pergaulan.
Kemajuan hidup bisa kita peroleh dari seberapa besar atau sulit pertanyaan yang ingin kita jawab dalam kehidupan ini. Maksudnya, diri kita yang menjadi jawaban pertanyaan kita sendiri.
Misalnya, pertanyaan: “Apakah semua orang memiliki kesempatan sukses yang sama?” Kita bisa menjawabnya, apakah diri kita bisa sukses dengan segala hambatan dan keterbatasan yang ada. Jika kita bisa menjadi diri yang “sukses”, maka pertanyaan di atas akan terjawab dengan sendirinya. Demikian pula sebaliknya, jika ternyata “gagal”, pasti kita juga memiliki data penyebab mengapa kita “gagal”.
Fitrah Kecerdasan
Untuk mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan di wal tulisan ini, penulis akan mengutip ungkapan Buckminster Fuller: All children are born geniuses; 9.999 out of every 10.000 are swiftly inadvertently degeniusized by grownups.
Jadi, pada awalnya kita semua sebenarnya memiliki kejeniusan, atau bisa dikatakan memiliki kemampuan otak yang sama. Namun, seiring pertumbuhan, kejeniusan itu terkikis atau menjadi terpendam secara tidak disadari, karena pengaruh lingkungan, baik keluarga, masyarakat, dan utamanya pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, saya akan mengisahkan seperti apa yang saya peroleh dari
Dalam sebuah Talk Show Nasional bersama Kak Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak (24/1), penulis mengingat sebuah cerita yang tertuang dalam pertemuan itu.
Alkisah, di sebuah hutan, sebut saja Alas Roban, yang dihuni beragam jenis hewan, menteri pendidikan Alas Roban memberlakukan kurikulum sekolah yang sama untuk semua jenis hewan. Semua penghuni hutan itu dianggap sama, hingga harus mempelajar materi sama, dengan porsi yang sama pula.
Ketika pelajaran memanjat pohon digelar, harimau dengan mudah naik, sementara itik harus bersusah payah memanjat, bahkan tidak juga berhasil. Monyet juga hampir menangis ketika mengikuti pelajaran menyelam, sementara katak dengan mudahnya masuk ke dalam air. Demikian pula harimau yang nyaris tenggelam ketika mati-matian mengikuti pelajaran renang, sementara itik dengan gembiranya berenang di atas air.
Ketika pelajaran bergantung di pohon, monyet dengan senangnya berayun-ayun di dahan, sementara buaya dengan susah payah hanya bisa meraba-raba akarnya. Begitu seterusnya.
Akibatnya, lambat laun mereka lupa tentang keahlian unik yang ada pada diri mereka sejak lahir, karena harus mempelajari sesuatu yang bukan bakat atau bidangnya, dan terkadang dipaksakan. Akhirnya, itik menjadi tidak bisa berenang, katak lupa dengan keahliannya menyelam, monyet tak tahu cara memanjat pohon, dan harimau pun hanya bisa mengaum.
Begitu pula manusia. Karena dianggap sama dengan lainnya, dan di masa pertumbuhan kita harus belajar tentang sangat banyak hal yang belum tentu sesuai dengan keunikan diri kita. Akhirnya jadilah diri kita yang sekarang; yang ketika ditanya, “Apa cita-citamu?” Kita hanya geleng-geleng kepala. “Apa bakat atau talentamu?” Kita juga menjawab, “Tidak tahu….”
Keunikan diri masing-masing pribadi pasti berbeda, dan berbedaan itu harus dipahami. Bahkan pada anak kembar sekalipun, tidak bisa disamakan dalam segala hal. Tetap saja ada perbedaan bawaan lahir yang harus diperhatikan.
Adi W. Gunawan dalam artikelnya Born To Be A Genius but Conditioned To Be An Idiot, menjelaskan bahwa anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius. Namun proses pendidikan yang salah kerap membuat anak tak mampu mengembangkan potensinya secara optimal.
Jika ini terjadi, menurut Adi, akan menyebabkan anak memiliki konsep diri yang buruk dengan ciri-ciri: tidak atau kurang percaya diri, takut berbuat salah, tidak berani mencoba hal-hal baru, takut terhadap penolakan, dan anak menjadi tidak suka belajar atau benci sekolah.
Kemungkinan besar, karena proses pendidikan dan pengaruh lingkunganlah, kita yang awalnya memiliki kejeniusan yang sama, namun setelah dewasa menjadi memiliki kualitas yang berbeda.
Mari ibaratkan dengan benih tanaman. Jika ia tumbuh di tanah yang subur dengan iklim yang sesuai, bisa dipastikan ia akan tumbuh seperti yang diharapkan. Tapi meski benih unggul, buatan impor pula, namun jika ditanam di tanah yang tandus dan iklimnya tidak sesuai, pastilah benih itu tidak akan tumbuh, bahkan mati.
Kreatifitas Unggul
Tentang kreativitas seseorang atau suatu bangsa, mengapa ada yang bisa menciptakan teknologi tinggi sementara yang lain tidak? Menurut penulis adalah karena kebudayaan, sejarah sosial dan ekonomi, sistem pendidikan, nenek moyang, dan nilai hidup yang dianut masing-masing bangsa.
Setiap bangsa memiliki ciri sendiri. Bangsa Indonesia dijajah sekitar 3,5 abad, dan dulunya berasal dari kerajaan-kerajaan yang bernuansa Hindu, Budha dan Islam. Nenek moyang kita juga petani dan pelaut, sesuai kondisi alamnya. Jadi, kita boleh kagum dengan Amerika yang bisa membuat satelit, roket dan mendaratkan manusia di bulan, namun kita melupakan Candi Borobudur yang masuk dalam tujuh keajaiban dunia hasil karya digjaya nenek moyang kita.
Kita mungkin kagum dengan bangsa Jepang yang bisa merajai dunia industri elektronik dan kendaraan bermotor, namun kita juga harus bangga memiliki kekayaan budaya dan etnik yang beragam. Mungkin, kebanggaan diri kita kian sirna, karena bangsa kita masih tenggelam oleh laju globalisasi. Hingga kita lupa bahwa kita juga memiliki keunikan tersendiri.
Inilah, karena kita belum mengoptimalkan potensi dan keunikan diri, dan cenderung memilih meniru budaya atau teknologi luar yang katanya lebih canggih. Boleh-boleh saja kita melakukan alih teknologi agar tidak terlalu ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain, tapi kita juga tak boleh lupa bahwa basis negara adalah pertanian dan kelautan.
Makanan, lauk, minuman, orangtua atau keluarga, sangat tidak berkolerasi langsung dengan “keluarbiasaan” seseorang atau suatu bangsa. Kita bisa bercermin diri sebab bangsa kita yang masih tertinggal dari bangsa lain. Mungkin karena kita masih malas, kurang belajar, terlalu pasrah pada keadaan, dan kurang maksimal menggunakan kejeniusan otak kita.
Ada sebuah anekdot menyebutkan: Kalau otak manusia itu ada yang menjual, maka yang paling mahal harganya adalah otak orang Indonesia. Tahu alasannya? Karena otak orang Indonesia masih orisinil dan segar (fresh), sebab jarang dipakai. Sungguh menyedihkan!
Lalu, seberapa besarkah peran takdir? Seorang mentor pernah berkata, “Takdir akan turun jika kita telah berusaha semaksimal mungkin.” Betul! Karena Allah SWT telah mengaskan, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Qs. ar-Ra’d [13]: 11)
Sudah seharusnya kita bisa memahami keunikan diri masing-masing. Melihat bahwa kita, sebagai individu maupun bangsa, memiliki potensi dan keunggulan tersendiri, yang bisa kita berdayakan agar menjadi manusia atau bangsa yang luar biasa.
Jika kita fokus pada kelebihan diri, maka kemajuan bisa kita peroleh. Namun jika kita hanya melihat kekurangan atau keterbatasan yang kita miliki, bisa dipastikan kemajuan atau kesuksesan akan kian menjauh.

 

PAUD Membangun Generasi Berkualitas

 

Prof. Dr. Syamsiah Badruddin, M.Si
Dosen Luar Biasa Pascasarjana STIA Prima Sengkang, UIT, UNM Makassar
Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan periode yang sangat menentukan masa depannya. Kesalahan yang terjadi pada periode kritis akan membawa kerugian yang nyata pada masa depan bangsa. Investasi untuk perbaikan gizi, kesehatan, dan pembinaan anak usia dini, akan membuat anak lebih siap belajar dengan baik pada saat sekolah.
Pendidikan Anak Dini Usia (PAUD) merupakan investasi yang memiliki efek positif jangka panjang bagi kehidupan anak-anak di masa depan. Sehingga pada gilirannya akan berdampak positif sangat nyata bagi kemajuan bangsa. Produktivitas bangsa di masa depan, sangat ditentukan oleh bagaimana upaya pengembangan anak usia dini dilakukan.
Pengembangan anak usia dini, merupakan pilihan yang bijaksana dalam kaitannya dengan pembangunan SDM guna membangun masa depan bangsa yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Young (1996) mengemukakan, paling tidak ada lima alasan pentingnya melakukan investasi untuk pengembangan anak usia dini (early child development).
Pertama, untuk membangun SDM yang berkemampuan intelegensia tinggi, berkepribadian dan berperilaku sosial yang baik, serta mempunyai ketahanan mental dan psikososial yang kokoh. Kedua, untuk menghasilkan “economic return” (keuntungan ekonomis) yang lebih, dan menurunkan “social costs” (biaya sosial) di masa mendatang dengan meningkatnya efektivitas pendidikan, dan menekan pengeluaran biaya untuk kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, untuk mencapai pemerataan sosial ekonomi masyarakat, termasuk mengatasi kesenjangan antargender. Keempat, untuk meningkatkan efisiensi investasi pada sektor lain. Sebab, intervensi program gizi dan kesehatan pada anak-anak, akan meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup anak. Sedangkan intervensi dalam program pendidikan, akan meningkatkan kinerja anak dan mengurangi kemungkinan tinggal kelas.
Kelima, untuk membantu kaum ibu dan anak-anak. Dengan semakin meningkatnya jumlah ibu bekerja dan rumahtangga yang dipimpin oleh wanita, pemeliharaan anak yang aman menjadi semakin penting. Penyediaan wahana untuk itu, akan memberi peluang kepada wanita untuk berkarir dan meningkatkan kemampuan maupun keterampilannya.
Membangun Kecerdasan
Fungsi pendidikan bagi anak dini usia (golden age) tak hanya sekedar memberikan berbagai pengalaman belajar seperti pendidikan pada orang dewasa. Tapi juga berfungsi mengoptimalkan perkembangan kapabilitas kecerdasannya.
Pendidikan di sini hendaknya diartikan secara luas, mencakup seluruh proses stimulasi psikososial yang tidak terbatas pada proses pembelajaran yang dilakukan secara klasikal. Artinya, pendidikan dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja, baik yang dilakukan sendiri di lingkungan keluarga, maupun oleh lembaga pendidikan di luar lingkungan keluarga.
Pembelajaran harus dilakukan secara menyenangkan. Dengan bermain, anak akan memperoleh kesenangan, hingga memungkinkannya untuk belajar tanpa tekanan. Sehingga, di samping motorik, kecerdasan anak (kognitif, sosial-emosional, spiritual dan kecerdasan lainnya) pun akan berkembang optimal. Lebih penting lagi, kejenuhan belajar, akan berdampak pada semakin menurunnya prestasi anak di kelas.
Pembelajaran yang menyenangkan, merupakan pembelajaran yang berpusat pada anak. Di mana anak mendapatkan pengalaman nyata yang bermakna bagi kehidupan selanjutnya. Pada gilirannya, melalui pendidikan anak dini usia yang pembelajarannya dilakukan secara menyenangkan, akan lahir manusia-manusia Indonesia yang siap menghadapi berbagai tantangan.
Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak dini usia di samping dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature), juga sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi, dan psikososial yang diperolehnya dari lingkungan. Karena faktor bawaan harus kita terima apa adanya, maka faktor lingkunganlah yang harus direkayasa. Dan kita harus mengupayakannya semaksimal mungkin, agar kekurangan yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dapat diperbaiki.
Meningkatkan Kualitas SDM
Secara konseptual, pembangunan kualitas sumberdaya manusia, harus mencakup semua dimensi, baik fisik maupun non-fisik secara totalitas. Segenap potensi jasmani dan rohani manusia, bisa berkembang secara sempurna dan dapat didayagunakan untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka mencapai tujuan hidup.
Kualitas fisik dicerminkan dengan derajat kesehatan yang prima. Dan kualitas akal dicerminkan oleh daya pikir atau kecerdasan intelektual yang berkaitan dengan penguasan ilmu pengetahuan. Sedangkan Kualitas kalbu diukur dengan derajat keimanan dan ketakwaan, kejujuran, budi pekerti, moral dan akhlak.
Kualitas akal dan kalbu secara bersama-sama melahirkan daya dzikir dan kesadaran diri yang mendalam akan hakikat manusia, sehingga melahirkan emogensi atau kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang berkualitas.
Pendekatan holistik menekankan, bahwa kualitas sumberdaya manusia ditentukan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal, yang berlangsung dalam keseluruhan siklus hidup. Tahap yang sangat menentukan adalah masa janin (pre-natal) hingga anak berusia remaja (sekitar 15 tahun). Sementara tahap yang paling kritis terjadi sejak anak lahir hingga ia berumur 5 tahun (balita).
Usia dini, atau saat umur balita, adalah tahap yang rentan terhadap berbagai pengaruh fisik dan non-fisik. Agar anak menjadi manusia yang berkualitas, di masa-masa itulah berbagai faktor yang menentukan tumbuh kembangnya anak, baik fisik, psikologis, dan sosial, sangat penting untuk diperhatikan dan dikendalikan.
Bagi guru kelas satu, dua, tiga tingkat sekolah dasar yang berpengalaman, tentu sudah tak asing mendapati varian bakat (aptitude) yang merupakan potensi kemampuan yang dibawa anak sejak lahir (inherent inner component of ability; Semiawan, C, 1997).
Mengingat banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan bakat, utamanya lingkungan, maka perhatian para pendidikan terhadap faktor-faktor di luar diri anak yang akan mempengaruhi pengembangan intelektualitas dan kreativitas anak, harus diperhatikan. Khususnya dalam pendidikan anak usia dini.

 

Bahayakah Jika Anak Gila Bola?

Sepakbola, sudah bukan lagi menjadi sekedar hobi bermain, tapi kini para penggila olahraga sepakbola atau biasa disebut gibol (gila bola), sudah membentuk komunitas tersendiri. Selama gibol masih on the track yang benar, rasanya tak ada yang salah dengan kecenderungan itu. Tapi bagaimana jika gibol menyerang buah hati Anda? Apa mengkhawatirkan, dan apa yang harus Anda lakukan?
Seorang ibu mengeluh kepada psikolog di Batam. “Anak saya sekarang sudah tak mau lagi ikut kegiatan ekstrakulikuler di sekolah, selain sepakbola. Hampir setiap hari, aktivitasnya tak jauh-jauh dari bola, dan bola. Mulai dari bermain bola dengan kawan-kawannya, membaca berita sepakbola di koran, sampai bergadang hanya untuk menonton tayangan langsung pertandingan sepakbola. Bukan hanya tim-tim dalam negeri yang ditonton, nama-nama pemain tim Italia, Inggris dan Belanda sudah dihapal di luar kepalanya.”
Seorang bapak lainnya juga mengeluhkan hal serupa. “Anak saya sekarang sudah kelas lima. Hari-hari yang ada di otaknya hanya sepakbola. Ketika duduk di kelas dua hingga kelas empat, cita-citanya masih ingin menjadi pilot pesawat tempur. Tapi sekarang ia sudah tak lagi bercita-cita, sejak menjadi gibol.”
Semakin hari, keluhan seperti itu kian menumpuk. Ketika Qalam melakukan penelusuran kepada sejumlah orangtua dan psikolog, terbukti semakin banyak saja orangtua yang resah dan khawatir terjadap tumbuh kembang anak mereka, sejak menjadi gibol. Namun pandangan berbeda disampaikan psikolog yang juga Ketua Komisi Perlindungan Anak Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Bibiana Dyah Sucahyani, yang menilai tak ada masalah dengan gibol, dan kecenderungan itu tak perlu dikhawatirkan. “Justru bisa dijadikan sebagai motivasi,” tegasnya.
Menurut alumni Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu, dampak positif kesenangan anak pada olahraga sepakbola adalah terwujudnya sarana penyaluran energi anak kepada hal-hal positif. Motorik anak akan terlatih. Juga, dari kecenderungannya itu dapat diamati apakah si anak memang benar-benar memiliki potensi di bidang sepakbola.
Lebih jauh, sepakbola akan melatih anak untuk bersikap sportif, taat aturan, bisa bekerjasama dalam tim, disiplin dan mempelajari berbagai strategi. Hanya ada sedikit dampak negatifnya jika si anak tidak diperhatikan keseimbangan kegiatannya dengan hal lain. Hingga anak hanya akan menghabiskan waktunya untuk bermain atau menonton bola, ia pun akan lupa untuk belajar.
Tapi, jika gibol disalurkan dengan cara yang tepat, tentu tak akan mengganggu prestasi belajar anak. Gibol justru akan lebih memotivasi anak. Misalnya, jika anak berprestasi atau mendapat nilai bagus di sekolah, maka orangtua dapat mengajak si anak nonton langsung pertandingan sepakbola tim kesayangan. Atau, membelikannya sampul buku bergambar bola dan sebagainya. Disamping itu, gambar pemain idola juga dapat dijadikan motivasi untuk memacu prestasi akademik anak.
Permainan sepakbola juga dapat berdampak langsung pada kegiatan belajar anak. Jika anak dapat fokus pada bola saat bermain sepakbola, ia pun akan mampu fokus pada pelajaran di kelas.
Kiat menghadapi anak yang gibol, orangtua harus lebih kreatif mempergaulinya. Biasanya, anak gibol cenderung kinesketik, maka metode pembelajaran kinesketik yang layak digunakan untuk membantu anak lebih menguasai pelajarannya.
Lalu, bagaimana cara menyalurkan bakat anak gibol? Menutur Bibiana, diperlukan stimulasi dengan minat bakat yang relevan. Karena ia memiliki kecerdasan kinesketik, pilihan tepat adalah memasukkan anak ke klub sepakbola. Namun tentunya, harus diupayakan adanya kesepakatan bersama antara anak dan orangtua dalam urusan mengatur waktu.
Bagi kalangan penyelenggara pendidikan, anak-anak gibol bisa diberdayakan dengan menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler sepakbola. Dalam kegiatan itu, anak diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuan multiple intelligencesnya. Salah satunya kecerdasan kinestik. Dengan memberi stimulasi dan kesempatan kepada anak gibol, kiranya pengembangan potensi dan penyaluran minatnya yang terarah, sangat dapat membantu dalam pembentukan karakter positif dirinya.
Kesehatan Mental Gibol
Jika ditelusuri lebih jauh hasil-hasil penelitian dan dampak psikologis dari gibol, fakta cukup mengejutkan dapat ditemui. Dalam penelitian yang dilakukan Masterton G. dan Mander J.A. (1990) yang dimuat dalam The British Journal of Psychiatry, dibuktikan bahwa saat Piala Dunia sepakbola digelar, jumlah pasien gawat darurat psikiatri mengalami penurunan besar selama dan sesudah pertandingan final.
Memang, ketika tim pujaan kalah, ada pengaruh negatif bagi kesehatan para gibol pencinta tim itu. Tapi pengaruh itu tidak terlalu serius. Karena menonton pertandingan sepakbola, menurut penelitian itu, merupakan tindakan katarsis yang memberi kesempatan penonton pria untuk mengekspresikan dan merilis emosi internalnya.
Lebih dari itu, ternyata gibol juga terbukti dapat mencegah kaum muda dari aksi percobaan bunuh diri. Sebab, saat menonton pertandingan sepakbola, para gibol memiliki cukup banyak momentum untuk melepaskan ekspresi emosi. Secara psikologis, hal ini dapat membantu mereka untuk menurunkan tingkat stres, yang sebagian berujung pada upaya bunuh diri.
Seperti dirilis Mental Health Foundation dari Inggris, saat mengalami masalah mental, satu dari empat lelaki muda di bawah umur 35 tahun rentan untuk melakukan bunuh diri. Kelompok usia ini memang merupakan penggemar bola terbanyak di seluruh dunia. Maka, pelepasan emosi –dengan menonton sepakbola- penting untuk menjaga kesehatan. Seperti menurut penelitian yang dilakukan psikolog dari Northumbria University Inggris, gara-gara sepakbola, pria menjadi lebih mudah untuk mengungkapkan emosinya.
Selain berdampak pada emosi, sepakbola juga sangat berpengaruh kepada relasi, identitas, dan penghargaan diri. Menurut penelitian Sir Norman Chester Centre for Football Research, University of Leicester di Inggris, satu di antara empat orang yang menyebut dirinya penggila bola, mengatakan bahwa sepakbola merupakan satu hal paling penting dalam hidup mereka.
Di balik manfaat itu, ada bahaya yang mengintai gibol jika tidak diantisipasi dampaknya. Sebuah penelitian membuktikan, menjelang pertandingan Piala Eropa 2008, para dokter di benua Eropa telah bersiap-siap menghadapi meningkatnya panggilan gawat darurat, serangan jantung, kekerasan pada istri, pelanggaran menyetir dalam keadaan mabuk, depresi, melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri. “Semakin penting pertandingan, semakin besar resikonya,” ujar Ute Wilbert-Lampert, peneliti dari The Munich University Clinic di Jerman, sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
Selama pertandingan Piala Dunia 2006, ditemukan sejumlah kasus cardiac arrest atau jantung berhenti mendadak dan berdebar-debar yang menimpa kaum pria di Munich. Di kalangan wanita, kasus itu meningkat dua kali lipat. Terlebih ketika Tim Jerman berlaga di perempatfinal melawan Argentina. Kasusnya kian meningkat saat Jerman berlaga di semifinal melawan Italia, dan kalah.
Di Inggris, peneliti menemukan serangan jantung meningkat 25 persen ketika Inggris kalah dari Argentina melalui tendangan pinalti di Piala Dunia 1998. Peningkatan angka itu membuat para ahli menganjurkan agar kalangan orang yang memiliki resiko stres gara-gara pertandingan bola, untuk mengonsumsi obat-obatan receptor blocker, aspirin, dan statin. Mereka bahkan menawarkan kalangan yang rentan itu melakukan terapi perilaku untuk menenangkan diri sebelum duduk di sofa dan menonton pertandingan.
Herve Douard ahli penyakit jantung di University Hospital Clinic di Bordeaux, Perancis, menganjurkan agar para pasiennya yang berpotensi terserang jantung maupun yang efektif terserang jantung, untuk tidak nonton pertandingan penting sepakbola.
Tapi, tidak semua pertandingan sepakbola mendatangkan bahaya. Sebuah penelitian terbaru, seperti dirilis situs BBC menyatakan, menonton tim sepakbola kesayangan menang dalam pertandingan penting, akan berefek baik untuk jantung. Buktinya, angka kematian karena serangan jantung di Perancis mengalami penurunan signifikan, ketika tim nasional mereka menang 3-0 atas Brasil di Final Piala Dunia 1998. (saibansah dardani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar