1. KUMPULAN ARTIKEL ANAK
Anak Korban Perilaku Menyimpang Ibu
Yayah Hidayah, M.si.
Ibu, sosok yang akan terus memberi rasa kasih,
sayang, kelembutan, cinta, dan perlindungan kepada anaknya, tanpa kenal batas
waktu. Ibu yang baik akan menjadi pahlawan bagi anaknya. Ia akan berjuang
mati-matian demi keselamatan anaknya. Maka, jika ada perilaku seorang ibu yang
menyia-nyiakan anaknya, berarti ia patut dicurigai memiliki perilaku yang
menyimpang.
Sebab, pola asuh yang baik dan memadai semasa
balita, sangat urgen demi perkembangan fisik dan psikis anak. Menurut Wenar
(1991), ketiadaan pengasuhan yang memadai setelah terbentuknya ikatan cinta
kasih di antara anak dengan pengasuh, akan menyebabkan perilaku anak yang
menyimpang. Karena dampak dari rasa kehilangan akan sangat dirasakan sebagai
suatu penolakan atau pengabaian.
Anak balita yang dipisahkan dari orangtuanya,
baik karena terpaksa atau disengaja, akan tumbuh dalam jiwanya perasaan tak
aman dan tak nyaman. Ia akan mengalami gangguan kepribadian atau kesulitan
menyesuaikan diri di masa mendatang.
Dengan pemahaman yang masih terbatas dan
sempit tentang suatu kejadian yang menimpanya, anak akan memahami bahwa
peristiwa yang ia alami sebagai bentuk penolakan atas keberadaan dirinya. Ia
akan merasa tidak cukup dipandang dan tidak berharga di mata keluarganya,
hingga tak pantas untuk dicintai. Jika hal ini berlanjut hingga anak menyadari
-selepas masa balita-, maka akan timbul trauma dalam pembentukan identitas dan
penyesuaian dirinya dalam kehidupan.
Karena itu, perilaku ibu dan kepribadiannya
harus diperhatikan, agar perkembangan kepribadian anak yang diasuhnya tidak
terganggu. Berikut ini beberapa aspek psikologis negatif ibu yang sangat
berbahaya terkait pengasuhan anak.
Gangguan Jiwa
Peneliti Rose Cooper Thomas yang melakukan
penelitian terhadap hubungan ibu dan anak, menemukan bahwa ibu yang mengalami
gangguan jiwa schizophrenia (kecenderungan perilaku yang acuh tak acuh),
dominan atau cenderung akan menghasilkan karakter anak yang perilakunya suka
memberontak, jahat, menyimpang, bahkan anti-sosial. Namun ada pula anak akan
menjadi suka menarik diri, pasif, terlalu tergantung dan kelewat penurut.
Peneliti lain mengemukakan bahwa gangguan jiwa
ibu akan berakibat terganggunya perkembangan identitas anak. Dan gangguan
obsesif kompulsif yang dialami orangtua juga sangat erat berdampak pada sikap
mereka untuk mengabaikan anaknya. Sebab, gangguan ini menjadikan penderitanya
lebih banyak memikirkan dan melakukan ritual-ritual sendiri daripada tanggung
jawab mengasuh anaknya.
Ada lagi gangguan kejiwaan ibu yang berbahaya
bagi anak. Yaitu Munchausen Syndrome by Proxy (MSbP), berupa gangguan mental
yang biasa dialami wanita atau seorang ibu terhadap anaknya. Biasanya terjadi
pada bayi atau anak balita.
Dalam penyakit yang digambarkan pertama kali
oleh Meadow pada tahun 1977 ini, dideteksi adanya unsur kebohongan yang
bersifat patologis dalam kehidupan sehari-hari ibu yang terus menerus. Pada
kasus yang parah, ibu yang melakukannya justru kelihatan lemah lembut dan baik.
Gangguan jiwa yang berbahaya ini bisa berakibat pada kematian anak. Karena pada
banyak kasus, ditemukan ada ibu yang sampai hati menyekap, atau mencekik,
bahkan meracuni anaknya.
Pada kasus-kasus ini sering ditemukan adanya
sejarah gangguan perilaku antisosial pada ibu, mungkin disebabkan pengalaman
yang dialami oleh ibu itu pada pola asuh yang salah dari orang tuanya. Pada
kasus lain ditemukan bukti bahwa ternyata ibu tersebut mengalami gangguan
somatis seperti contohnya (menurut istilah medis) gangguan neurotik,
hypochondria, atau gangguan yang bersifat semu lainnya). Ditemukan pula, bahwa
ibu-ibu yang tega melakukan hal ini terhadap anaknya ternyata mengalami
gangguan kepribadian yang cukup parah.
Depresi
Peneliti Chaffin, Kelleher dan Hollenberg
(1996) terhadap anak-anak yang orangtuanya mengalami depresi atau psikopatologi
menemukan fakta banyaknya anak yang mengalami penyiksaan fisik. Akibatnya,
korban anak-anak dilaporkan mengalami banyak masalah kejiwaan, seperti depresi,
interpersonal, perilaku yang aneh dan bermasalah dalam belajar.
Pecandu Minuman
Keluarga alkoholis cenderung tidak stabil.
Segala aturan dapat berubah setiap waktu, dan seringnya mudah mengingkari
janji. Kecenderungan ini terbawa pula dalam urusan pola asuh mereka terhadap
anak. Pola asuh yang diterapkan orangtua alkoholis akan sering berubah-ubah
secara acak. Ini menyebabkan tidak ada celah bagi anggota keluarga untuk
mengungkapkan perasaan secara normal, karena banyaknya batasan, aturan dan
larangan dalam keluarga.
Karena hal ini merupakan aib keluarga,
biasanya anggota keluarga akan menutupnya agar tidak diketahui orang lain.
Situasi ini akan melahirkan perasaan tertekan, frustrasi, marah, tidak nyaman
dan gelisah di hati anak. Ia akan sering berpikir bahwa ia telah melakukan
suatu kekeliruan yang menyebabkan orangtuanya memiliki kebiasaan buruk.
Akibatnya, akan timbul rasa tak percaya, kesulitan mengekspresikan emosi secara
tepat, dan kesulitan menjalin hubungan sosial yang erat. Dan masalah ini akan
terus terbawa hingga ia dewasa.
Menurut para ahli, anak-anak dari keluarga
seperti ini lebih beresiko mengembangkan kebiasaan alkoholis di masa dewasa.
Menurut Chaffin, Kelleher dan Hollenberg (1996), para pecandu obat terlarang,
menjadi faktor paling umum penyebab terjadinya penyiksaan dan pengabaian
terhadap anak, dan pengasuhan anak dengan cara yang keliru.
Masalah Perkawinan
Keluarga yang bermasalah, akan berpengaruh
pada ketidak-keharmonisan keluarga, dan dampaknya akan buruk pada kehidupan
emosional anak. Karena para anggota keluarga akan kian merasakan beban mental
atau tekanan emosional yang terus meningkat. Beban ini akan semakin berat
apabila suasana keluarga terasa mencekam, tak ada yang berani mengemukakan
emosi, pikiran, dan tiada lagi keleluasaan untuk bertindak.
Pada umumnya, anak akan menjadi korban
pelampiasan ketegangan, kecemasan, kekesalan, kemarahan dan segala emosi
negatif yang tidak bisa dikeluarkan itu. Sebab, anak berada pada posisi lemah,
sehingga mudah menjadi sasaran agresivitas orangtua tanpa perlawanan.
Jangan Kambinghitamkan Anak Bandel
Dia Hidayati Usman MA
Dosen STAI Shalahuddin al-Ayyubi Jakarta
Banyak buku ditulis tentang cara mendidik
anak. Tapi tulisan mengenai kesalahan mendidiknya jarang kita temukan. Kalaupun
ada, jumlahnya hanya sedikit. Sehingga tak heran jika banyak orangtua sangat
mudah langsung menyalahkan/mengkambinghitamkan anak ketika melihat si anak
sedikit bandel.
Saat Umar ibn Khaththab RA mejadi khalifah,
pernah datang seorang ayah melaporkan perbuatan anaknya yang dianggap tidak
baik. Umar tak lantas membenarkan laporan tersebut. Ia minta didatangkan anak
yang diadukan itu. Dan dari laporan anak, Umar tahu, ada kesalahan si ayah
dalam mendidik. Di antaranya, terlalu kasar dan kurang peduli (cuek).
Karena itu, ada baiknya kita perhatikan
beberapa kesalahan berikut ini yang umumnya terjadi dalam mendidik anak:
Pertama, berlebihan memenuhi keinginan anak.
Tidak sedikit orangtua yang mengira bahwa mewujudkan semua keinginan anak
adalah hal terbaik. Padahal sebaliknya. Pada usia tahun pertama, si kecil
mungkin masih belum mengerti. Tapi menginjak tahun kedua, ia akan mulai paham
dan banyak meminta. Di masa itulah orangtua dapat membiasakan anak untuk
memahami batasan hidup, tentang pemborosan, hak orang lain, hingga soal
keharusan bersedekah.
Kedua, perfeksionis. Kesalahan terbesar bagi
orangtua adalah menuntut anak agar selalu tampil sempurna. Di sekolah ia harus
ranking pertama. Tak boleh gagal sama sekali. Anak dipaksa bekerja keras mewujudkannya.
Memang, siapapun pasti ingin anaknya sempurna
dan terbaik. Tapi ketika anak tak mampu menggapai harapan, maka ia akan merasa
lemah, jiwanya pun akan ditunggangi rasa kekurangan. Sebaiknya, orangtua cukup
memberi motivasi dan menumbuhkan jiwa optimis anak agar ia sukses dan sempurna
menyikapi segala hal yang dihadapinya.
Ketiga, over doktrin. Maksudnya, berlebihan
dalam memberi perhatian kepada anak, sampai pada tingkat mengekang kebebasan
bergeraknya. Contoh, ketika si kecil sedang asik bermain dengan mainan yang
kesenangannya, tiba-tiba ibu memanggil dan memaksanya untuk mandi, atau
melakukan hal lain.
Anak biasanya akan meronta dan menangis. Ia
akan merasa telah terampas dan kehilangan saat yang paling menyenangkan. Jika
ketidakbebasan itu sering ia rasakan, niscaya jiwa kemandiriannya akan rapuh.
Ia akan terus bergantung pada orangtua dalam setiap tantangan dan kesempatan
yang dihadapi. Ia tak akan pernah bisa membuat keputusan sendiri.
Keempat, over punishment. Orangtua cenderung
mudah memberi hukuman yang tidak sesuai dengan tingkat kesalahan anak. Ketika
sebuah kesalahan lahir karena ketidakmatangan anak secara akal, maka sangat tak
pantas orangtua menghukumnya.
Anak seperti itu, cukup diperingati dan
diarahkan. Berbeda dengan anak yang sudah matang akal dan fisik, tapi sering
mengulang kesalahan. Ia patut diberi hukuman ringan dan bertahap, sampai
pribadinya membaik dan menyadari kesalahannya.
Kelima, lalai. Banyak orangtua tidak
menyempatkan diri untuk bermain bersama anak. Padahal, anak sangat butuh
kehangatan bermain bersama orangtuanya. Dengan aktivitas ini, jiwa anak akan
tenang dan bahagia, karena banyak hal yang bisa ditanyakan dan dibagi saat
bermain bersama.
Dengan bermain bersama, orangtua juga akan
tahu perkembangan jiwa dan fisik anak secara langsung. Hingga kemudian orangtua
akan mudah membelikan mainan yang cocok dan disenangi anaknya.
Keenam, membeda-bedakan perlakuan antaranak.
Kecenderungan ini memang agak sulit untuk dihindari, karena kadang terjadi
akibat perbedaan usia dan tuntutan anak. Namun bagaimanapun juga, orangtua
harus bijak menyikapinya, agar tak timbul rasa iri dan permusuhan di antara
anak. Patut diingat, wilayah ini sangat sensitif, dan menuntut kehati-hatian
orangtua melakoninya.
Memahami Keunikan Diri
Agus Riyanto
Motivator, Penulis buku Born To Be A Champion: Menguak Fakta Diri Untuk Meraih Kemenangan
Sejati
Seorang sahabat memaparkan pertanyaan
sepanjang satu halaman ke email saya. Inti yang dimaksud adalah apakah manusia
itu dilahirkan dengan kemampuan otak yang sama atau berbeda? Tentang
kreativitas seseorang, kenapa antara yang satu dengan yang lain berbeda.
Mengapa ada yang “wah” dan ada yang “biasa-biasa” saja? Tentang beberapa bangsa
di bumi ini; kenapa ada yang bisa menciptakan peradaban dan teknologi tinggi,
tapi kita tidak atau belum bisa seperti itu? Apa karena makanan, lauk, minuman,
orangtua atau keluarga? Ataukah semua itu karena takdir?
Ada hal menarik, sahabat penanya itu ternyata
seorang gadis yang baru lulus SMA, dan sedang magang kerja di sebuah
perusahaan. Itu artinya pemikirannya sudah cukup maju, karena kebanyakan gadis
seumur dia, yang dipikirkan hanya tentang pacar atau hal-hal sepele dalam
pergaulan.
Kemajuan hidup bisa kita peroleh dari seberapa
besar atau sulit pertanyaan yang ingin kita jawab dalam kehidupan ini.
Maksudnya, diri kita yang menjadi jawaban pertanyaan kita sendiri.
Misalnya, pertanyaan: “Apakah semua orang
memiliki kesempatan sukses yang sama?” Kita bisa menjawabnya, apakah diri kita
bisa sukses dengan segala hambatan dan keterbatasan yang ada. Jika kita bisa
menjadi diri yang “sukses”, maka pertanyaan di atas akan terjawab dengan
sendirinya. Demikian pula sebaliknya, jika ternyata “gagal”, pasti kita juga
memiliki data penyebab mengapa kita “gagal”.
Fitrah Kecerdasan
Untuk mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan di
wal tulisan ini, penulis akan mengutip ungkapan Buckminster Fuller: All children are born geniuses; 9.999 out of every 10.000 are swiftly
inadvertently degeniusized by grownups.
Jadi, pada awalnya kita semua sebenarnya
memiliki kejeniusan, atau bisa dikatakan memiliki kemampuan otak yang sama.
Namun, seiring pertumbuhan, kejeniusan itu terkikis atau menjadi terpendam
secara tidak disadari, karena pengaruh lingkungan, baik keluarga, masyarakat,
dan utamanya pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, saya akan mengisahkan
seperti apa yang saya peroleh dari
Dalam sebuah Talk Show Nasional bersama Kak
Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak (24/1), penulis mengingat sebuah
cerita yang tertuang dalam pertemuan itu.
Alkisah, di sebuah hutan, sebut saja Alas
Roban, yang dihuni beragam jenis hewan, menteri pendidikan Alas Roban
memberlakukan kurikulum sekolah yang sama untuk semua jenis hewan. Semua
penghuni hutan itu dianggap sama, hingga harus mempelajar materi sama, dengan
porsi yang sama pula.
Ketika pelajaran memanjat pohon digelar,
harimau dengan mudah naik, sementara itik harus bersusah payah memanjat, bahkan
tidak juga berhasil. Monyet juga hampir menangis ketika mengikuti pelajaran
menyelam, sementara katak dengan mudahnya masuk ke dalam air. Demikian pula
harimau yang nyaris tenggelam ketika mati-matian mengikuti pelajaran renang,
sementara itik dengan gembiranya berenang di atas air.
Ketika pelajaran bergantung di pohon, monyet
dengan senangnya berayun-ayun di dahan, sementara buaya dengan susah payah
hanya bisa meraba-raba akarnya. Begitu seterusnya.
Akibatnya, lambat laun mereka lupa tentang
keahlian unik yang ada pada diri mereka sejak lahir, karena harus mempelajari
sesuatu yang bukan bakat atau bidangnya, dan terkadang dipaksakan. Akhirnya,
itik menjadi tidak bisa berenang, katak lupa dengan keahliannya menyelam,
monyet tak tahu cara memanjat pohon, dan harimau pun hanya bisa mengaum.
Begitu pula manusia. Karena dianggap sama
dengan lainnya, dan di masa pertumbuhan kita harus belajar tentang sangat
banyak hal yang belum tentu sesuai dengan keunikan diri kita. Akhirnya jadilah
diri kita yang sekarang; yang ketika ditanya, “Apa cita-citamu?” Kita hanya
geleng-geleng kepala. “Apa bakat atau talentamu?” Kita juga menjawab, “Tidak
tahu….”
Keunikan diri masing-masing pribadi pasti
berbeda, dan berbedaan itu harus dipahami. Bahkan pada anak kembar sekalipun,
tidak bisa disamakan dalam segala hal. Tetap saja ada perbedaan bawaan lahir
yang harus diperhatikan.
Adi W. Gunawan dalam artikelnya Born To Be A Genius but Conditioned To Be An Idiot,
menjelaskan bahwa anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius. Namun
proses pendidikan yang salah kerap membuat anak tak mampu mengembangkan
potensinya secara optimal.
Jika ini terjadi, menurut Adi, akan
menyebabkan anak memiliki konsep diri yang buruk dengan ciri-ciri: tidak atau
kurang percaya diri, takut berbuat salah, tidak berani mencoba hal-hal baru,
takut terhadap penolakan, dan anak menjadi tidak suka belajar atau benci
sekolah.
Kemungkinan besar, karena proses pendidikan
dan pengaruh lingkunganlah, kita yang awalnya memiliki kejeniusan yang sama,
namun setelah dewasa menjadi memiliki kualitas yang berbeda.
Mari ibaratkan dengan benih tanaman. Jika ia
tumbuh di tanah yang subur dengan iklim yang sesuai, bisa dipastikan ia akan
tumbuh seperti yang diharapkan. Tapi meski benih unggul, buatan impor pula,
namun jika ditanam di tanah yang tandus dan iklimnya tidak sesuai, pastilah
benih itu tidak akan tumbuh, bahkan mati.
Kreatifitas Unggul
Tentang kreativitas seseorang atau suatu
bangsa, mengapa ada yang bisa menciptakan teknologi tinggi sementara yang lain
tidak? Menurut penulis adalah karena kebudayaan, sejarah sosial dan ekonomi,
sistem pendidikan, nenek moyang, dan nilai hidup yang dianut masing-masing
bangsa.
Setiap bangsa memiliki ciri sendiri. Bangsa
Indonesia dijajah sekitar 3,5 abad, dan dulunya berasal dari kerajaan-kerajaan
yang bernuansa Hindu, Budha dan Islam. Nenek moyang kita juga petani dan
pelaut, sesuai kondisi alamnya. Jadi, kita boleh kagum dengan Amerika yang bisa
membuat satelit, roket dan mendaratkan manusia di bulan, namun kita melupakan
Candi Borobudur yang masuk dalam tujuh keajaiban dunia hasil karya digjaya
nenek moyang kita.
Kita mungkin kagum dengan bangsa Jepang yang
bisa merajai dunia industri elektronik dan kendaraan bermotor, namun kita juga
harus bangga memiliki kekayaan budaya dan etnik yang beragam. Mungkin,
kebanggaan diri kita kian sirna, karena bangsa kita masih tenggelam oleh laju
globalisasi. Hingga kita lupa bahwa kita juga memiliki keunikan tersendiri.
Inilah, karena kita belum mengoptimalkan
potensi dan keunikan diri, dan cenderung memilih meniru budaya atau teknologi
luar yang katanya lebih canggih. Boleh-boleh saja kita melakukan alih teknologi
agar tidak terlalu ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain, tapi kita juga tak
boleh lupa bahwa basis negara adalah pertanian dan kelautan.
Makanan, lauk, minuman, orangtua atau
keluarga, sangat tidak berkolerasi langsung dengan “keluarbiasaan” seseorang
atau suatu bangsa. Kita bisa bercermin diri sebab bangsa kita yang masih tertinggal
dari bangsa lain. Mungkin karena kita masih malas, kurang belajar, terlalu
pasrah pada keadaan, dan kurang maksimal menggunakan kejeniusan otak kita.
Ada sebuah anekdot menyebutkan: Kalau otak
manusia itu ada yang menjual, maka yang paling mahal harganya adalah otak orang
Indonesia. Tahu alasannya? Karena otak orang Indonesia masih orisinil dan segar
(fresh), sebab jarang
dipakai. Sungguh menyedihkan!
Lalu, seberapa besarkah peran takdir? Seorang
mentor pernah berkata, “Takdir akan turun jika kita telah berusaha semaksimal
mungkin.” Betul! Karena Allah SWT telah mengaskan, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Qs. ar-Ra’d [13]: 11)
Sudah seharusnya kita bisa memahami keunikan
diri masing-masing. Melihat bahwa kita, sebagai individu maupun bangsa,
memiliki potensi dan keunggulan tersendiri, yang bisa kita berdayakan agar
menjadi manusia atau bangsa yang luar biasa.
Jika kita fokus pada kelebihan diri, maka
kemajuan bisa kita peroleh. Namun jika kita hanya melihat kekurangan atau
keterbatasan yang kita miliki, bisa dipastikan kemajuan atau kesuksesan akan
kian menjauh.
PAUD Membangun Generasi Berkualitas
Prof. Dr. Syamsiah Badruddin, M.Si
Dosen Luar Biasa Pascasarjana STIA Prima
Sengkang, UIT, UNM Makassar
Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan
periode yang sangat menentukan masa depannya. Kesalahan yang terjadi pada
periode kritis akan membawa kerugian yang nyata pada masa depan bangsa.
Investasi untuk perbaikan gizi, kesehatan, dan pembinaan anak usia dini, akan
membuat anak lebih siap belajar dengan baik pada saat sekolah.
Pendidikan Anak Dini Usia (PAUD) merupakan
investasi yang memiliki efek positif jangka panjang bagi kehidupan anak-anak di
masa depan. Sehingga pada gilirannya akan berdampak positif sangat nyata bagi
kemajuan bangsa. Produktivitas bangsa di masa depan, sangat ditentukan oleh
bagaimana upaya pengembangan anak usia dini dilakukan.
Pengembangan anak usia dini, merupakan pilihan
yang bijaksana dalam kaitannya dengan pembangunan SDM guna membangun masa depan
bangsa yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Young (1996)
mengemukakan, paling tidak ada lima alasan pentingnya melakukan investasi untuk
pengembangan anak usia dini (early child development).
Pertama, untuk membangun SDM yang berkemampuan
intelegensia tinggi, berkepribadian dan berperilaku sosial yang baik, serta
mempunyai ketahanan mental dan psikososial yang kokoh. Kedua, untuk
menghasilkan “economic return” (keuntungan ekonomis) yang lebih, dan menurunkan
“social costs” (biaya sosial) di masa mendatang dengan meningkatnya efektivitas
pendidikan, dan menekan pengeluaran biaya untuk kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, untuk mencapai pemerataan sosial
ekonomi masyarakat, termasuk mengatasi kesenjangan antargender. Keempat, untuk
meningkatkan efisiensi investasi pada sektor lain. Sebab, intervensi program gizi
dan kesehatan pada anak-anak, akan meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup
anak. Sedangkan intervensi dalam program pendidikan, akan meningkatkan kinerja
anak dan mengurangi kemungkinan tinggal kelas.
Kelima, untuk membantu kaum ibu dan anak-anak.
Dengan semakin meningkatnya jumlah ibu bekerja dan rumahtangga yang dipimpin
oleh wanita, pemeliharaan anak yang aman menjadi semakin penting. Penyediaan
wahana untuk itu, akan memberi peluang kepada wanita untuk berkarir dan
meningkatkan kemampuan maupun keterampilannya.
Membangun Kecerdasan
Fungsi pendidikan bagi anak dini usia (golden
age) tak hanya sekedar memberikan berbagai pengalaman belajar seperti
pendidikan pada orang dewasa. Tapi juga berfungsi mengoptimalkan perkembangan
kapabilitas kecerdasannya.
Pendidikan di sini hendaknya diartikan secara
luas, mencakup seluruh proses stimulasi psikososial yang tidak terbatas pada
proses pembelajaran yang dilakukan secara klasikal. Artinya, pendidikan dapat
berlangsung di mana saja dan kapan saja, baik yang dilakukan sendiri di
lingkungan keluarga, maupun oleh lembaga pendidikan di luar lingkungan
keluarga.
Pembelajaran harus dilakukan secara
menyenangkan. Dengan bermain, anak akan memperoleh kesenangan, hingga
memungkinkannya untuk belajar tanpa tekanan. Sehingga, di samping motorik,
kecerdasan anak (kognitif, sosial-emosional, spiritual dan kecerdasan lainnya)
pun akan berkembang optimal. Lebih penting lagi, kejenuhan belajar, akan
berdampak pada semakin menurunnya prestasi anak di kelas.
Pembelajaran yang menyenangkan, merupakan
pembelajaran yang berpusat pada anak. Di mana anak mendapatkan pengalaman nyata
yang bermakna bagi kehidupan selanjutnya. Pada gilirannya, melalui pendidikan
anak dini usia yang pembelajarannya dilakukan secara menyenangkan, akan lahir
manusia-manusia Indonesia yang siap menghadapi berbagai tantangan.
Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi
perkembangan, kualitas anak dini usia di samping dipengaruhi oleh faktor bawaan
(nature), juga sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi, dan psikososial
yang diperolehnya dari lingkungan. Karena faktor bawaan harus kita terima apa
adanya, maka faktor lingkunganlah yang harus direkayasa. Dan kita harus
mengupayakannya semaksimal mungkin, agar kekurangan yang dipengaruhi oleh
faktor bawaan dapat diperbaiki.
Meningkatkan Kualitas SDM
Secara konseptual, pembangunan kualitas
sumberdaya manusia, harus mencakup semua dimensi, baik fisik maupun non-fisik
secara totalitas. Segenap potensi jasmani dan rohani manusia, bisa berkembang
secara sempurna dan dapat didayagunakan untuk melakukan berbagai kegiatan dalam
rangka mencapai tujuan hidup.
Kualitas fisik dicerminkan dengan derajat
kesehatan yang prima. Dan kualitas akal dicerminkan oleh daya pikir atau
kecerdasan intelektual yang berkaitan dengan penguasan ilmu pengetahuan.
Sedangkan Kualitas kalbu diukur dengan derajat keimanan dan ketakwaan,
kejujuran, budi pekerti, moral dan akhlak.
Kualitas akal dan kalbu secara bersama-sama
melahirkan daya dzikir dan kesadaran diri yang mendalam akan hakikat manusia,
sehingga melahirkan emogensi atau kecerdasan emosional (emotional intelligence)
yang berkualitas.
Pendekatan holistik menekankan, bahwa kualitas
sumberdaya manusia ditentukan oleh banyak faktor, baik internal maupun
eksternal, yang berlangsung dalam keseluruhan siklus hidup. Tahap yang sangat
menentukan adalah masa janin (pre-natal) hingga anak berusia remaja (sekitar 15
tahun). Sementara tahap yang paling kritis terjadi sejak anak lahir hingga ia
berumur 5 tahun (balita).
Usia dini, atau saat umur balita, adalah tahap
yang rentan terhadap berbagai pengaruh fisik dan non-fisik. Agar anak menjadi
manusia yang berkualitas, di masa-masa itulah berbagai faktor yang menentukan
tumbuh kembangnya anak, baik fisik, psikologis, dan sosial, sangat penting
untuk diperhatikan dan dikendalikan.
Bagi guru kelas satu, dua, tiga tingkat
sekolah dasar yang berpengalaman, tentu sudah tak asing mendapati varian bakat
(aptitude) yang merupakan potensi kemampuan yang dibawa anak sejak lahir
(inherent inner component of ability; Semiawan, C, 1997).
Mengingat banyak faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan bakat, utamanya lingkungan, maka perhatian para
pendidikan terhadap faktor-faktor di luar diri anak yang akan mempengaruhi
pengembangan intelektualitas dan kreativitas anak, harus diperhatikan.
Khususnya dalam pendidikan anak usia dini.
Bahayakah Jika Anak Gila Bola?
Sepakbola, sudah bukan lagi menjadi sekedar
hobi bermain, tapi kini para penggila olahraga sepakbola atau biasa disebut
gibol (gila bola), sudah membentuk komunitas tersendiri. Selama gibol masih on
the track yang benar, rasanya tak ada yang salah dengan kecenderungan itu. Tapi
bagaimana jika gibol menyerang buah hati Anda? Apa mengkhawatirkan, dan apa
yang harus Anda lakukan?
Seorang ibu mengeluh kepada psikolog di Batam.
“Anak saya sekarang sudah tak mau lagi ikut kegiatan ekstrakulikuler di
sekolah, selain sepakbola. Hampir setiap hari, aktivitasnya tak jauh-jauh dari
bola, dan bola. Mulai dari bermain bola dengan kawan-kawannya, membaca berita
sepakbola di koran, sampai bergadang hanya untuk menonton tayangan langsung
pertandingan sepakbola. Bukan hanya tim-tim dalam negeri yang ditonton,
nama-nama pemain tim Italia, Inggris dan Belanda sudah dihapal di luar
kepalanya.”
Seorang bapak lainnya juga mengeluhkan hal serupa.
“Anak saya sekarang sudah kelas lima. Hari-hari yang ada di otaknya hanya
sepakbola. Ketika duduk di kelas dua hingga kelas empat, cita-citanya masih
ingin menjadi pilot pesawat tempur. Tapi sekarang ia sudah tak lagi
bercita-cita, sejak menjadi gibol.”
Semakin hari, keluhan seperti itu kian
menumpuk. Ketika Qalam melakukan penelusuran kepada sejumlah orangtua dan
psikolog, terbukti semakin banyak saja orangtua yang resah dan khawatir
terjadap tumbuh kembang anak mereka, sejak menjadi gibol. Namun pandangan
berbeda disampaikan psikolog yang juga Ketua Komisi Perlindungan Anak Provinsi
Kepulauan Riau (Kepri) Bibiana Dyah Sucahyani, yang menilai tak ada masalah
dengan gibol, dan kecenderungan itu tak perlu dikhawatirkan. “Justru bisa
dijadikan sebagai motivasi,” tegasnya.
Menurut alumni Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta itu, dampak positif kesenangan anak pada olahraga sepakbola adalah
terwujudnya sarana penyaluran energi anak kepada hal-hal positif. Motorik anak
akan terlatih. Juga, dari kecenderungannya itu dapat diamati apakah si anak
memang benar-benar memiliki potensi di bidang sepakbola.
Lebih jauh, sepakbola akan melatih anak untuk
bersikap sportif, taat aturan, bisa bekerjasama dalam tim, disiplin dan
mempelajari berbagai strategi. Hanya ada sedikit dampak negatifnya jika si anak
tidak diperhatikan keseimbangan kegiatannya dengan hal lain. Hingga anak hanya
akan menghabiskan waktunya untuk bermain atau menonton bola, ia pun akan lupa
untuk belajar.
Tapi, jika gibol disalurkan dengan cara yang tepat,
tentu tak akan mengganggu prestasi belajar anak. Gibol justru akan lebih
memotivasi anak. Misalnya, jika anak berprestasi atau mendapat nilai bagus di
sekolah, maka orangtua dapat mengajak si anak nonton langsung pertandingan
sepakbola tim kesayangan. Atau, membelikannya sampul buku bergambar bola dan
sebagainya. Disamping itu, gambar pemain idola juga dapat dijadikan motivasi
untuk memacu prestasi akademik anak.
Permainan sepakbola juga dapat berdampak
langsung pada kegiatan belajar anak. Jika anak dapat fokus pada bola saat
bermain sepakbola, ia pun akan mampu fokus pada pelajaran di kelas.
Kiat menghadapi anak yang gibol, orangtua
harus lebih kreatif mempergaulinya. Biasanya, anak gibol cenderung kinesketik,
maka metode pembelajaran kinesketik yang layak digunakan untuk membantu anak
lebih menguasai pelajarannya.
Lalu, bagaimana cara menyalurkan bakat anak
gibol? Menutur Bibiana, diperlukan stimulasi dengan minat bakat yang relevan.
Karena ia memiliki kecerdasan kinesketik, pilihan tepat adalah memasukkan anak
ke klub sepakbola. Namun tentunya, harus diupayakan adanya kesepakatan bersama
antara anak dan orangtua dalam urusan mengatur waktu.
Bagi kalangan penyelenggara pendidikan,
anak-anak gibol bisa diberdayakan dengan menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler
sepakbola. Dalam kegiatan itu, anak diberi kesempatan untuk menunjukkan
kemampuan multiple intelligencesnya. Salah satunya kecerdasan kinestik. Dengan
memberi stimulasi dan kesempatan kepada anak gibol, kiranya pengembangan
potensi dan penyaluran minatnya yang terarah, sangat dapat membantu dalam
pembentukan karakter positif dirinya.
Kesehatan Mental Gibol
Jika ditelusuri lebih jauh hasil-hasil
penelitian dan dampak psikologis dari gibol, fakta cukup mengejutkan dapat
ditemui. Dalam penelitian yang dilakukan Masterton G. dan Mander J.A. (1990)
yang dimuat dalam The British Journal of Psychiatry, dibuktikan bahwa saat
Piala Dunia sepakbola digelar, jumlah pasien gawat darurat psikiatri mengalami
penurunan besar selama dan sesudah pertandingan final.
Memang, ketika tim pujaan kalah, ada pengaruh
negatif bagi kesehatan para gibol pencinta tim itu. Tapi pengaruh itu tidak
terlalu serius. Karena menonton pertandingan sepakbola, menurut penelitian itu,
merupakan tindakan katarsis yang memberi kesempatan penonton pria untuk
mengekspresikan dan merilis emosi internalnya.
Lebih dari itu, ternyata gibol juga terbukti
dapat mencegah kaum muda dari aksi percobaan bunuh diri. Sebab, saat menonton
pertandingan sepakbola, para gibol memiliki cukup banyak momentum untuk
melepaskan ekspresi emosi. Secara psikologis, hal ini dapat membantu mereka
untuk menurunkan tingkat stres, yang sebagian berujung pada upaya bunuh diri.
Seperti dirilis Mental Health Foundation dari
Inggris, saat mengalami masalah mental, satu dari empat lelaki muda di bawah
umur 35 tahun rentan untuk melakukan bunuh diri. Kelompok usia ini memang
merupakan penggemar bola terbanyak di seluruh dunia. Maka, pelepasan emosi
–dengan menonton sepakbola- penting untuk menjaga kesehatan. Seperti menurut
penelitian yang dilakukan psikolog dari Northumbria University Inggris,
gara-gara sepakbola, pria menjadi lebih mudah untuk mengungkapkan emosinya.
Selain berdampak pada emosi, sepakbola juga
sangat berpengaruh kepada relasi, identitas, dan penghargaan diri. Menurut
penelitian Sir Norman Chester Centre for Football Research, University of
Leicester di Inggris, satu di antara empat orang yang menyebut dirinya penggila
bola, mengatakan bahwa sepakbola merupakan satu hal paling penting dalam hidup
mereka.
Di balik manfaat itu, ada bahaya yang
mengintai gibol jika tidak diantisipasi dampaknya. Sebuah penelitian
membuktikan, menjelang pertandingan Piala Eropa 2008, para dokter di benua
Eropa telah bersiap-siap menghadapi meningkatnya panggilan gawat darurat,
serangan jantung, kekerasan pada istri, pelanggaran menyetir dalam keadaan
mabuk, depresi, melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri. “Semakin penting
pertandingan, semakin besar resikonya,” ujar Ute Wilbert-Lampert, peneliti dari
The Munich University Clinic di Jerman, sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
Selama pertandingan Piala Dunia 2006,
ditemukan sejumlah kasus cardiac arrest atau jantung berhenti mendadak dan berdebar-debar
yang menimpa kaum pria di Munich. Di kalangan wanita, kasus itu meningkat dua
kali lipat. Terlebih ketika Tim Jerman berlaga di perempatfinal melawan
Argentina. Kasusnya kian meningkat saat Jerman berlaga di semifinal melawan
Italia, dan kalah.
Di Inggris, peneliti menemukan serangan
jantung meningkat 25 persen ketika Inggris kalah dari Argentina melalui
tendangan pinalti di Piala Dunia 1998. Peningkatan angka itu membuat para ahli
menganjurkan agar kalangan orang yang memiliki resiko stres gara-gara
pertandingan bola, untuk mengonsumsi obat-obatan receptor blocker, aspirin, dan
statin. Mereka bahkan menawarkan kalangan yang rentan itu melakukan terapi
perilaku untuk menenangkan diri sebelum duduk di sofa dan menonton
pertandingan.
Herve Douard ahli penyakit jantung di
University Hospital Clinic di Bordeaux, Perancis, menganjurkan agar para
pasiennya yang berpotensi terserang jantung maupun yang efektif terserang
jantung, untuk tidak nonton pertandingan penting sepakbola.
Tapi, tidak semua pertandingan sepakbola
mendatangkan bahaya. Sebuah penelitian terbaru, seperti dirilis situs BBC
menyatakan, menonton tim sepakbola kesayangan menang dalam pertandingan
penting, akan berefek baik untuk jantung. Buktinya, angka kematian karena
serangan jantung di Perancis mengalami penurunan signifikan, ketika tim
nasional mereka menang 3-0 atas Brasil di Final Piala Dunia 1998. (saibansah
dardani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar