1. KUMPULAN ARTIKEL AGAMA
Doa Sebagai Obat
Prof Dadang Hawari
Dosen Pascasarjana Fakultas Psikologi
Uiversitas Indonesia, Penulis Buku
Matthews (1996) dari Universitas Georgetown,
Amerika Serikat melaporkan, dalam pertemuan tahunan The American Association
for the Advancement of Science (1996) tercuat ide bahwa mungkin suatu saat
kelak, tugas para dokter bukan lagi hanya menuliskan resep obat, tapi juga
menuliskan doa dan dzikir pada kertas resep sebagai pelengkap.
Sebab, dari 212 studi yang telah dilakukan
oleh para ahli sebelumnya, ditemukan 75% responden menyatakan bahwa komitmen
agama (berdoa dan berdzikir) berpengaruh positif pada kesehatan pasien. Hanya
7% yang berkesimpulan tidak. Selanjutnya dikemukakan, manfaat terapi keagamaan
ini sangat baik, terutama bagi penderita NAZA (narkotika, alkohol, zat
adiktif), depreso, kanker, hipertensi, (tekanan darah tinggi) dan penyakit
jantung.
Ada pula survei yang dilakukan oleh Majalah
Time, CNN, dan USA Weekend (1996), menyingkap lebih dari 70% pasien percaya
bahwa keimanan terhadap Tuhan, doa dan dzikir dapat membantu mempercept proses
penyembuhan penyakit. Sementara lebih dari 64% menyatakan agar para dokter
hendaknya juga memberikan terapi keagamaan (terapi psikoreligius), antara lain
dalam bentuk doa dan berdzikir. Penelitian ini mengungkap kebutuhan para pasien
kepada terapi keagamaan, selain terapi obat-obatan dan tindakan medis.
Synderman (1996) juga pernah melakukan
penelitan tentang hubungan komitmen agama dan ilmu pengetahuan (terapi medis)
untuk mendukung temuan-temuan sebelumnya. Kesimpulan yang didapatnya, terapi
medis tanpa disertai doa dan dzikir tidaklah lengkap. Sebaliknya pula, doa dan
dzikir tanpa disertai terapi medis, juga tidak efektif.
Christy (1998) dalam penelitian berjudul
Prayer as Medicine, mendukung kesimpulan penelitian pendahulunya (Snyderman)
dan menyatakan bahwa doa dan dzikir juga merupakan “obat” bagi penderita,
selain obat dalam pengertian medis. Ia menyimpulkan, “medicine” (obat) yang
diberikan kepada penderita mengandung dua arti. Yaitu “prayer” (doa) dan
“drugs” (obat/pil). Drugs yang dimaksud di sini adalah medicine dan bukan NAZA.
Dari hasil-hasil penelitian-penelitas di atas,
dapat disimpulkan bahwa komitmen agama berhubungan dengan manfaat bidang klinik
(religius commitment is associated with clinical benefit). Dan pendapat
Snyderman (1996) benar adanya, bahwa terapi medis saja tanpa disertai doa dan
dzikir tidaklah lengkap. Sedangkan doa dan dzikir tanpa disertai terapi medis
juga tak akan efektif.
Dalam ajaran agama Islam, seseorang yang
sedang menderita penyakit fisik maupun psikis (kejiwaan), diwajibkan untuk
berusaha berobat kepada ahlinya (dokter/psikiater), disertai dengan berdoa dan
berdzikir (HR. Muslim, Ahmad, dan at-Tirmidzi).
Sebagai ilustrasi, dalam sebuah hadits
disebutkan, suatu hari Rasulullah SAW kedatangan seorang Sahabat yang mengadu
bahwa anaknya yang sakit dan tak kunjung sembuh. Padahal ia sudah banyak
mengerjakan shalat, berdoa, berdzikir dan berpuasa, agar anaknya lekas sembuh.
Nabi bertanya kepada Sahabat itu, apakah anaknya sudah dibawa ke tabib
(dokter). “Belum,” jawab Sahabat itu. Kemudian Nabi menasehati agar segara
mengobati anaknya itu kepada ahlinya (tabib/dokter), disertai dengan doa dan
dzikir. Tak lama setelah berobat, anak itu pun sembuh.
Dapat ditarik kesimpulan, terapi secara ilmu
pengetahuan (terapi medis) dan terapi keagamaan (doa dan dzikir) hendaknya
dilakukan bersama-sama. Karena, Allah dan Rasul-Nya memang telah memerintahkan
demikian. “Aku mengabulkan permohonan yang mendoa apabila berdoa kepada-Ku.”
(Qs. al-Baqarah [2]: 186) “Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah sepanjang
waktu.” (HR Aisyah RA).
Hindari Bakat Instan
Yayah Hidayah MPsi
Akhir-akhir ini, kita tengah dicekoki
banyaknya ajang pencarian bakat ala “idol-idol”an maupun lomba-lomba. Dari
lomba menyanyi, pemilihan bintang, dan sebagainya. Proses instan pencarian
bakat-bakat segar industri musik dan hiburan di tanah air ini, sering
mengesampingkan dampak dari pola yang serba instan itu.
Dengan acara seperti ini, remaja dan anak-anak
akan semakin banyak yang bercita-cita menjadi penyanyi dan bintang sinetron.
Mereka berpikir, dengan ikut audisi, bergaya, bernyanyi, dan bantuan sms dari
pemirsa TV, ditambah sedikit keberuntungan, mereka akan langsung tenar dan
menjadi juara.
Padahal seharusnya, remaja dan anak diberi
stimulus proses berpikir dengan porsi lebih besar. Seperti melalui lomba
matematika, fisika, karya ilmiah atau lomba-lomba penelitian lainnya.
Dalam pencarian bakat, semestinya dilakukan
dengan proses alami. Karena, dengan proses yang terlalu singkat atau pendek,
akan sulit untuk menilai keberhasilan yang sebenarnya. Anak yang berhasil
dengan proses ini, biasanya akan cepat putus asa, cengeng dan bermental kurang
kuat dalam perjalanan karis dan hidup selanjutnya.
Menurut para ahli (seperti Freeman/1963 maupun
Bingham/1968), bakat merupakan suatu potensi atau kemampuan khusus dan lebih
dominan yang dimiliki seseorang, yang dapat berkembang melalui proses pelatihan
dan pendidikan intensif. Dengan proses ini, bakan akan menjadi sebuah kemampuan
dan kecakapan nyata. Seseorang akan lebih baik prestasi dan keahliannya, jika
ia mampu melakukan suatu pekerjaan sesuai bakat dan minatnya, ketimbang bidang
yang tidak sesuai dengan bakatnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan
bakat seseorang. Kemampuan atau potensi individu yang dibawa sejak lahir, atau
faktor bawaan, sangat menentukan pembentukan dan perkembangan bakat seseorang.
Tapi faktor ini saja tidak cukup untuk memaksimalkan bakat, karena faktor
lingkungan juga berperan mengembangannya.
Dalam Islam disebutkan, “Setiap bayi lahir ke
dunia dalam keadaan suci bersih,” tanpa dosa dan tanpa kecakapan yang khusus.
Kemudian peran lingkungan keluarga sangat menentukan pengembangannya.
Lingkungan dapat berfungsi sebagai stimulus bagi berkembangnya bakat, dan bisa
juga sebaliknya, menjadi penghambat perkembangan bakat.
Bakat juga tak akan berkembang optimal,
apabila tidak dibarengi dengan minat yang cukup tinggi terhadap bidang yang
sesuai dengan bakat tersebut. Contohnya, seseorang yang memiliki bakat cukup
tinggi sebagai ahli menggambar, tapi ia tak berminat terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan menggambar, maka bakatnya itu tak akan berkembang maksimal.
Motivasi diri untuk mengekpresikan bakat, juga
mempengaruhi usaha pengembangan bakat. Motivasi seseorang sangat erat kaitannya
dengan usaha dan kerja keras untuk mencapai tujuan hidupnya. Selain itu, bakat
seseorang juga akan berkembang pesat apabila ia memiliki nilai hidup yang
berarti atau positif terhadap pengembangan bakatnya itu.
Faktor kepribadian sangat penting bagi
perkembangan bakat seseorang. Seperti konsep diri, rasa percaya diri, keuletan,
keteguhan dan kesabaran dalam berusaha, kesediaan untuk menerima kritik maupun
saran untuk meraih cita-cita yang lebih tinggi.
Bakat akan berkembang dengan baik apabila
sudah mendekati atau menginjak masa peka atau kematangannya. Tapi, tak ada
kepastian kapan hitungan masa kematangan akan datang, masing-masing individu
memiliki masa kematangan yang berbeda-beda.
Meredakan Amarah
Ardiman Adami M.Psi
Magister Profesi Psikologi Universitas Islam
Indonesia, Mantan Ketua Umum Imamupsi Komisariat Universitas Islam Indonesia
Alkisah dalam sebuah peperangan, Ali ibn Abu
Thalib RA sukses mengalahkan lawannya. Ia berhasil memukul pedang sang lawan
hingga terlempar, dan menjungkalkan tubuh lawannya itu hingga tak berkutik di
tanah. Lalu, Ali menghunuskan ujung pedangnya di leher sang lawan, menunggu
untuk menusukkannya.
Namun tiba-tiba, lawan yang tergeletak itu
meludahi wajah Ali. Ali sangat kaget, seraya lekas mengusap lelehan air ludah
lawannya itu dari wajahnya. Ali terdiam sesaat, kemudian menarik pedangnya dan
beranjak pergi meninggalkan lawan yang masih terlentang di atas tanah.
Seseorang lalu bertanya heran mengapa Ali
malah pergi dan bukan membunuh musuh yang sudah menyerah kemudian meludahinya.
Ali menjawab, “Aku diludahi, maka timbul amarah dan benci dalam hatiku
kepadanya. Karena itu aku meninggalkannya.” Ia melanjutkan, “Betapa marahnya
Tuhan kepadaku jika aku membunuhnya karena amarah dan kebencian.”
Sebuah tindakan yang sungguh sulit dimengerti.
Ketika musuh sudah tidak berkutik, kemudian menghina dengan meludahi muka,
malah diampuni. Alasan Ali sederhana: jihad fî sabîlillâh yang dilakukannya akan ternoda jika
membunuh atas dasar nafsu pribadi.
Bolehkah Kita Marah?
Mengubur nafsu amarah atau ingin membalas
dendam, butuh perjuangan berat. Karena banyak fakta memperlihatkan, nafsu membunuh
dan mengumbar dendam tak dapat terelakkan. Apalagi ketika emosi sudah mencapai
ubun-ubun, ditambah jika ada kesempatan atau pihak yang memprovokasi.
Ketika marah, orang yang berhati lembut bisa
lekas berubah sangar. Yang pengasih pun bisa beralih menjadi
brutal. Begitulah. Manusia memang gudangnya khilaf dan dosa. Mata sempurna,
tapi penglihatan tertutup.
Kemarahan, kalau tidak dikelola dengan
hati-hati, cenderung akan membuat kitakebablasan. Karena itu, kemarahan sangat tak patut untuk
diumbar. Bolehlah kita marah tapi hanya sewajarnya.
Aristoteles pernah mengungkapkan, “Siapapun
bisa marah. Marah itu mudah. Tapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar
yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara
yang baik, bukanlah hal mudah.”
Sementara ini kita sering mendengar asumsi
keliru masyarakat yang menyebutkan, melampiaskan amarah adalah salah satu cara
mengatasi amarah. Dengan melampiaskan amarah, katanya, akan dapat membuat orang
yang tengah marah menjadi lebih baik dan nyaman perasaannya.
Padahal sesungguhnya tidak demikian. Sebab,
banyak penelitian justru membuktikan bahwa melampiaskan kemarahan sangat
sedikit, bahkan tak ada hubungannya dengan upaya meredakan amarah. Meski dengan
melampiaskan amarah, orang yang mengalaminya akan merasa terpuaskan.
Daniel Goleman, dalam Emotional Intelligence, mengungkap hasil penelitian ahli
psikologi Diane Tice dari Case Western Research University, yang menemukan
bahwa melampiaskan amarah merupakan salah satu cara terburuk untuk meredakan
amarah.
Ledakan amarah, biasanya justru akan memompa
perangsangan otak emosional. Akibatnya, orang justru akan menjadi lebih marah
dan kehilangan rasionalitas, bukan berkurang, jika amarahnya dilampiaskan.
Dari cerita banyak orang mengenai saat-saat mereka
melampiaskan amarah kepada seseorang, tindakan itu terbukti justru
memperpanjang suasana marah. Bukan menghentikannya.
Yang jauh lebih efektif untuk dilakukan saat
seseorang diradang amarah, adalah terlebih dahulu menenangkan diri. Kemudian,
dengan cara yang lebih konstruktif dan terarah, ia harus menghadapi orang yang
bersangkutan penyebab kemarahan, dengan kepala dingin dan hati tulus untuk
menyelesaikan masalah.
Dalam sebuah artikel berjudul “Forgiveness”, yang diterbitkan
Healing Current Magazine edisi September-Oktober 1996, disebutkan bahwa
kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa, akan menimbulkan emosi
negatif dalam diri yang mengalaminya, dan merusak keseimbangan emosional,
bahkan kesehatan jasmani mereka.
Lebih lanjut dipaparkan, ada kecenderungan
manusia dapat menyadari bahwa kemarahan yang meradang mereka, benar-benar
mengganggu diri mereka. Kesadaran ini timbul beberapa saat setelah mereka
menyadari kemarahannya. Biasanya, mereka cenderung berkeinginan memperbaiki
kerusakan hubungan. Langkah yang diambil adalah dengan memaafkan.
Disebutkan pula, banyak orang terbukti tak
ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan
kegelisahan. Mereka cenderung lebih suka memaafkan diri sendiri dan orang lain.
Saatnya Menahan
Amarah
Amarah terkait erat dengan sikap atau perilaku
yang cenderung mengarah pada penolakan atau permusuhan kepada orang lain. Pintu
utamanya adalah kontrol diri yang buruk, lalu mendatangkan sakit hati yang
berat.
Semua itu berjalan sesuai naluri manusia untuk
mempertahankan diri (gharîzah
baqâ`). Dan naluri ini pada dasarnya dimiliki setiap manusia normal
dan membutuhkan pemuasan. Walau jika tidak terpenuhi tak akan membawa kematian,
namun kondisi ini akan menimbulkan kegelisahan. Karenanya, Islam memberi arahan
yang sangat jelas untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia, termasuk amarah.
Dalam telaah psikologi Islam, Dr. Abdul Mujib
mengungkapkan bahwa amarah termasuk salah satu bentuk gangguan kepribadian (personality disorder), yang
dalam terminologi Islam klasik disebut sebagai akhlak tercela (akhlâq madzmûmah).
Sebagaimana gangguan kepribadian lainnya,
amarah dapat mengganggu realisasi dan aktualisasi diri seseorang. Itu sebabnya
seorang pemarah tak memiliki pertimbangan pikiran yang sehat. Ia juga tak
memiliki kontrol diri yang baik dalam ucapan maupun perbuatan, bahkan ia
cenderung berpikir negatif terhadap maksud baik orang lain.
Tidak berlebihan apabila Rasulullah SAW
bersabda, “Sesungguhnya marah itu bara api yang dapat
membakar lambung anak Adam. Ingatlah bahwa sebaik-baik orang adalah yang mampu
melambatkan (menahan) amarah dan mempercepat keridhaan. Dan seburuk-buruknya
orang adalah yang mempercepat amarah dan melambatkan ridha.” (HR. Ahmad)
Menurut al-Ghazali dalam karya mahsyurnya, Ihyâ` Ulûm ad-Dîn, amarah (ghadhab) disebabkan oleh dominasi unsur api atau panas (al-harârah) yang melumpuhkan
peran unsur kelembaban atau basah (ar-ruthubah)
dalam diri manusia. Karena itu, pengobatan gangguan ini bukanlah dilawan dengan
kemarahan, tapi dengan kelembutan dan nasihat-nasihat yang baik.
Rasulullah berwasiat, “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan itu diciptakan dari api.
Sesungguhnya api itu dapat dipadamkan dengan air. Maka barangsiapa yang marah
hendaklah ia berwudhu.” (HR.
Abu Daud)
Hadits ini selain menunjukkan sumber amarah,
juga terapinya yaitu wudhu. Karena air yang dibasuhkan pada bagian-bagian
tubuh, dapat mendinginkan dan menghilangkan ketegangan urat syaraf. Selain itu,
wudhu mengingatkan psikis manusia agar berzikir kepada Allah. Sebab zikir dapat
menyembuhkan penyakit batin.
Kalau kita telusuri sejarah Rasulullah (sîrah), kita akan tahu bahwa
menahan amarah adalah salah satu teladan yang beliau ajarkan. Masih ingat kisah
ketika Rasulullah dilempari kotoran hewan oleh seorang Quraisy? Beliau tetap
sabar dan berdoa semoga Allah membukakan hati orang tersebut.
Benar saja. Suatu hari Rasulullah mendengar
orang itu sakit. Dengan kebesaran hati, beliau menjenguk orang itu dan
menghiburnya. Akhirnya, orang itu pun masuk Islam.
Rasulullah memberi teladan tak ada satu kata
buruk pun keluar dari mulut beliau atas ulah orang-orang kampung Thaif yang
mengusir dan melempari beliau dengan batu hingga berdarah. Jika Rasulullah tak
pernah marah, bahkan selalu bersikap lembut dan memaafkan orang yang
menghinanya, bagaimana mungkin orang yang mengaku mencintai beliau berani
melakukan hal sebaliknya?
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan bersegerahlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. Âli ‘Imrân [3]: 133-134)
Nah, mampukah kita mengamalkannya tanpa dengki,
dendam, sakit hati, dan kemarahan? “Bukanlah disebut kuat orang yang pandai
bergulat. Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya
ketika ia sedang marah,” begitu
sabda Nabi SAW.
Manisnya Kejujuran
Ustadz Yusuf Mansur
Ketika yang lain bicara bahwa kejujuran itu
pahit. Tuhan berkata, Tidak! Kejujuran selalu manis, hanya perlu kesabaran
sebagai pupuknya.
Suatu hari, Parni mencoba membujuk suaminya, Riyadi,
untuk terus terang kepada pimpinan di kantornya, “Sudah Mas, lebih baik Mas
terus terang saja ke bos Mas. Sebelum semuanya terlambat. Biasanya sih kejadian
nanti tidak seburuk yang kita bayangkan.”
Parni tak tega melihat suaminya gelisah. Ia
meminta sang suami berterus terang telah melakukan pencurian di kantor
baru-baru ini.
Sudah 15 tahun Riyadi bekerja sebagai karyawan
di bagian pergudangan di kantornya. Nyaris tiada cacat berarti yang ia lakukan.
Tapi suatu ketika, Agus, anak tertua Riyadi, sudah lebih dari empat bulan
menunggak bayaran sekolah. Kalau tak lekas dibayar, Agus akan dikeluarkan dari
sekolah.
Meski sudah kerja belasan tahun, tapi status
maupun penghasilan Riyadi selalu tak berimbang dengan kebutuhan sehari-hari. Ia
dan keluarga ‘cukup berhasil’ hidup hemat, selalu berusaha meredam keinginan
dan nafsu.
20 tahun kehidupan rumahtangga pun ia lalui
bersama istri dengan harmonis, jauh dari kegelisahan. Mereka menerima keadaan
dengan lapang dada, nrimo.
Tapi, Riyadi juga masih manusia. Sesekali ia
juga punya letupan perasaan tidaknerima.
Hatinya suka berkata, bahwa kehidupannya telah dirampok oleh negara.
Penghasilannya dirampok oleh begitu tingginya harga-harga kebutuhan hidup yang
pokok.
Sering juga ia putus asa. Utamanya ketika tak
berdaya membelikan anaknya obat demam menyembuhkan sakit panas yang tak
turun-turun hingga tiga atau empat hari. Atau, ketika melihat anaknya yang
sering termangu memandangi kawan-kawannya yang sedang jajan.
Ia juga hampir mengorbankan kejujurannya.
Berkali-kali ia hampir terpedaya ucapan yang terlanjur memasyarakat: Untuk apa
jujur? Jujur itu pahit! Jujur itu miskin! Jujur itu berarti hidup susah! Orang
lain juga curang kok! Orang lain juga culas kok! Jadi buat apa kita jujur!
Iman dan kejujuran bisa juga menghilang dari
diri Riyadi. Apalagi kalau diingat, ia telah bekerja tanpa penghargaan yang
memadai. Tapi tak jarang ia segera ingat, semuanya adalah keputusan Allah. Dan
Allah masih memberinya harapan hidup di negeri akhirat.
Kalaulah ia miskin di dunia ini, ia masih
berharap kelak akan hidup bahagia di negeri kemudian. Begitu yang sering ia
dengar dari para ustadz, bahwa keberadaan akhirat adalah sebagai penyempurna
segala kejadian yang dianggap oleh manusia sebagai ketidakadilan.
***
Ya, Riyadi juga masih manusia. Kali ini ia
begitu tersudut oleh kenyataan bahwa ia hidup di negeri yang manusianya sudah nafsi-nafsi, sendiri-sendiri. Ia juga harus menerima
kenyataan, bahwa hidup enak di negeri ini saat ini hanya bisa dinikmati oleh
segelintir orang.
Ia juga putus asa karena pendidikan yang
digelar oleh begitu banyak lembaga pendidikan di Tanah Air, hampir semuanya
omong kosong. Kehadiran mereka bukan untuk mencerdaskan bangsa atau membantu
sesama. Pendidikan kini sudah menjadi komoditas bisnis yang tak menaruh hati
untuk kehadiran orang-orang seperti Riyadi.
‘Keputusasaan’ dan kebutuhan Riyadi ini untuk
membayar sekolah anaknya yang sudah lima bulan belum terbayarkan, akhirnya
menyeret dia untuk melakukan satu dua perbuatan nekad. Ia curi satu dua barang
dari gudang di kantornya. Tapi ia tak mencuri lebih, meski punya kesempatan
untuk itu. Ia hanya mencuri seukuran kebutuhannya.
Perusahaan Riyadi bergerak di bidang jual beli
barang-barang elektronik. Dari radio kecil, hingga televise ukuran setengah
kamarnya diproduksi dan dijual perusahaannya. Tapi Riyadi hanya mengambil mini
compo untuk ia uangkan.
Ketika dilakukan pemeriksaan rutin oleh
kantornya, Riyadi luput. Ia tak masuk daftar orang-orang yang dicurigai.
Lantaran tak ada orang yang meragukan kejujuran Riyadi. Termasuk atasannya.
Masalah pencurian ini akhirnya di”peti-es”kan.
Lagi pula, barang yang hilang itu tidak besar, menurut bosnya. Kejadian
tersebut hanya dijadikan pelajaran agar kewaspadaan ditingkatkan lingkungan
kantornya.
Sang waktu pun berjalan sebagaimana biasa.
Masalah bayaran sekolah Agus, anaknya, terbayarkan oleh hasil jual barang
curian. Riyadi bernafas lega. Satu masalah selesai. Paling tidak ia sudah tidak
diuber-uber tagihan SPP sekolah anaknya.
Tapi kemudian hadir masalah lain. Bahkan kali
ini lebih menyiksa perasaannya. Riyadi terus diburu perasaan bersalah!
Seperti umumnya rakyat kecil, kalau bersalah
itu akan terus dianggap sebagai kesalahan. Kehidupannya pun menjadi tidak
tenang, dan terus gelisah. Berbeda sekali dengan kebanyakan orang terpandang,
terhormat, atau pandai di negeri ini. Bila berbuat kesalahan, lebih sering
menganggapnya sebagai ‘kesalahan manusiawi’, atau ‘kesalahan yang tidak terlalu
prinsip’. Mereka pun bisa tenang. Bahkan tetap tenang untuk terus menerus
melakukan kesalahan-kesalahan baru, dan berusaha menutupinya dengan ‘baju
kewenangan’, atau ‘baju kekuasan dan kepintarannya’.
Ya, Riyadi hanya ‘orang kecil’ yang berjiwa besar.
Ia bersalah dan merasa bersalah. Kegelisahan dan ketidaktenangan itu semakin
menjadi-jadi. Ia khawatir, Allah sangat marah kepadanya dan akan menghadirkan
kesulitan-kesulitan yang lebih besar lagi kepadanya.
Ia sangat khawatir ajalnya akan sampai,
sementara ia sedang melakukan kesalahan yang menurutnya sangat fatal. Ia merasa
upayanya untuk berjalan lurus akan sia-sia. Di usianya yang akan memasuki paruh
baya, ia malah menghanguskan kebanggaan diri yang dulunya susah, tapi mampu tak
memakan harta yang haram.
Dirinya memang susah, tapi ia dan keluarga tak
pernah menyusahkan orang lain. Dirinya bodoh, tapi tak pernah membodohi orang
lain.
Setelah mencuri, semua prinsip ini terasa
terlanggar. Ia seakan melihat Allah sedang marah kepadanya, dan setan justru
tengah menertawai dirinya yang dapat goyah oleh kebutuhan hidup. Ketika masalah
pencurian diputihkan oleh pihak kantornya, ia justru melihatnya sebagai
kemarahan Allah yang tertunda.
Sejak itu, hari-hari ia lalui dengan stres.
Mukanya selalu kusut. Hatinya sebentar-bentar dag-dig-dug. Engga boleh
mendengar kucing jatuh dari meja atau ketukan pintu dari para tetangga, hati
dan batinnya terus tersiksa. Ia merasa sedang duduk di atas kursi mewah yang
berduri.
Dalam situasi inilah sang istri mencoba
menyarani untuk berterus terang kepada pihak kantor. Kalau memang dipecat, ya sudahlah
dipecat. Siapa tahu akan ada kehidupan yang lebih baik. Syukur-syukur jika bisa
dimaafkan.
Semua keluarganya mendukung nasihat sang istri
ini. Tak terkecuali Agus, anaknya. Ia bahkan bilang, “Kalo tau Bapak
membayar SPP dari uang haram,mendingan Agus berhenti sekolah!”
Agus khawatir, kalau ia disekolahkan lewat
uang haram, maka kepintarannya kelak akan menjadi bumerang buat diri dan
keluarganya sendiri. Bila melanjutkan sekolah dengan uang haram, ia khawatir
akan dekat dengan hal-hal yang Allah haramkan. Luar biasa!
***
Mantap sudah niat Riyadi untuk segera berterus
terang kepada pihak kantornya. Apapun yang akan terjadi terjadilah, kata
batinnya. Ia hanya berharap Allah mau mengampuni. Itu saja!
Ia tak berharap bos akan mengagumi
keberaniannya berterus terang. Ia justru siap dengan segala risiko, sepahit
apapun. Daripada nanti ditunda hukumannya di akhirat, begitu tekadnya. Riyadi
juga yakin, jika kebusukan lebih lama disimpan, maka baunya akan lebih busuk
lagi.
Akhirnya, begitu Riyadi bicara keadaan yang
sebenarnya kepada pihak kantor, ia pun dipecat! Alasan si bos, ia tidak pernah
menolerir satu kejahatan pun terjadi di kantornya.
Sampai di sini, tidak ada happy ending. Riyadi yang selama ini digaji murah, tak
diberi tunjang kesehatan apalagi keperluan-keperluan mendadak, sudah 15 tahun
menjaga kejujuran dan loyalitas kepada perusahan, tetap harus menelan ludah
pahit. Dipecat!
Riyadi sadar, ia hanya orang kecil.
Ketiadaannya tak akan berpengaruh banyak bagi kelancaran gerak perusahaan.
Untung sebelumnya ia sudah memersiapkan diri untuk tidak membayangkan si bos
akan mengagumi kejujurannya. Jadi, Riyadi tak perlu sakit hati.
Tapi Allah tidak buta! Ketika Dia melihat
‘perjuangan’ Riyadi yang luar biasa ini, ditambah keikhlasannya menjalani
kehidupan, saat itu pula keputusan terbaik-Nya Dia turunkan untuk Riyadi.
Allah kemudian menunjukkan kebenaran
perkataan-Nya, bahwa ujung kehidupan antara yang baik dan yang jahat itu
berbeda. Riwayat kehidupan di kemudian hari antara orang yang menjaga iman
dengan yang menukarnya dengan dunia tak akan sama. Allah pun menunjukkan
kebesaran-Nya pada keluarga Riyadi.
Dengan modal pesangon yang hanya dua juta
rupiah, Riyadi membuka bengkel motor. Rupanya inilah ‘jalan hadiah’ dari Allah.
Bengkelnya maju pesat, lebih maju dari yang ia bayangkan.
Dulu, ia sekadar berprinsip, jangan sampai
uang pesangon habis sekadar untuk makan. Kejujuran Riyadi membuat para pemilik
kliennya percaya kepada Riyadi untuk mengurusi kendaraannya yang rusak.
Sampai hari ini, bengkel milik Riyadi memang
tetap ‘kecil’. Tapi, antrean pelanggan yang minta dilayani sangat banyak.
Bahkan mereka rela masuk daftarwaiting
list, menunggu pelayanan.
Bengkel Riyadi berada di pertigaan jalan
antara Ketapang dan Gondrong, di wilayah Tangerang, Banten. Anaknya, Agus, kini
juga sudah mengelola bengkel sendiri di bilangan Ciledug, Tangerang. Brand yang
mereka pakai adalah “Berkah Motor”.
Bagi Riyadi dan keluarga, kejujuran berarti
keberkahan. Dan ketidakjujuran berarti akan menghilangkan keberkahan. Kaya tapi
tidak berkah, sama saja dengan kekayaan yang sia-sia, kekayaan yang tak bisa
dinikmati.
Ada ujung kehidupan yang manis, yang akan
Allah hadiahkan untuk semua orang yang bisa memelihara dirinya dan menghargai
Tuhannya. Sementara, ada malapetaka yang besar dan ujung kehidupan yang pahit,
untuk siapa saja yang tidak memelihara diri dan melupakan Tuhannya. Sang waktu
yang akan berbicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar