Minggu, 27 Januari 2013

Kumpulan Artikel Agama



 

1.        KUMPULAN ARTIKEL AGAMA

 

Doa Sebagai Obat

Prof Dadang Hawari
Dosen Pascasarjana Fakultas Psikologi Uiversitas Indonesia, Penulis Buku
Matthews (1996) dari Universitas Georgetown, Amerika Serikat melaporkan, dalam pertemuan tahunan The American Association for the Advancement of Science (1996) tercuat ide bahwa mungkin suatu saat kelak, tugas para dokter bukan lagi hanya menuliskan resep obat, tapi juga menuliskan doa dan dzikir pada kertas resep sebagai pelengkap.
Sebab, dari 212 studi yang telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya, ditemukan 75% responden menyatakan bahwa komitmen agama (berdoa dan berdzikir) berpengaruh positif pada kesehatan pasien. Hanya 7% yang berkesimpulan tidak. Selanjutnya dikemukakan, manfaat terapi keagamaan ini sangat baik, terutama bagi penderita NAZA (narkotika, alkohol, zat adiktif), depreso, kanker, hipertensi, (tekanan darah tinggi) dan penyakit jantung.
Ada pula survei yang dilakukan oleh Majalah Time, CNN, dan USA Weekend (1996), menyingkap lebih dari 70% pasien percaya bahwa keimanan terhadap Tuhan, doa dan dzikir dapat membantu mempercept proses penyembuhan penyakit. Sementara lebih dari 64% menyatakan agar para dokter hendaknya juga memberikan terapi keagamaan (terapi psikoreligius), antara lain dalam bentuk doa dan berdzikir. Penelitian ini mengungkap kebutuhan para pasien kepada terapi keagamaan, selain terapi obat-obatan dan tindakan medis.
Synderman (1996) juga pernah melakukan penelitan tentang hubungan komitmen agama dan ilmu pengetahuan (terapi medis) untuk mendukung temuan-temuan sebelumnya. Kesimpulan yang didapatnya, terapi medis tanpa disertai doa dan dzikir tidaklah lengkap. Sebaliknya pula, doa dan dzikir tanpa disertai terapi medis, juga tidak efektif.
Christy (1998) dalam penelitian berjudul Prayer as Medicine, mendukung kesimpulan penelitian pendahulunya (Snyderman) dan menyatakan bahwa doa dan dzikir juga merupakan “obat” bagi penderita, selain obat dalam pengertian medis. Ia menyimpulkan, “medicine” (obat) yang diberikan kepada penderita mengandung dua arti. Yaitu “prayer” (doa) dan “drugs” (obat/pil). Drugs yang dimaksud di sini adalah medicine dan bukan NAZA.
Dari hasil-hasil penelitian-penelitas di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen agama berhubungan dengan manfaat bidang klinik (religius commitment is associated with clinical benefit). Dan pendapat Snyderman (1996) benar adanya, bahwa terapi medis saja tanpa disertai doa dan dzikir tidaklah lengkap. Sedangkan doa dan dzikir tanpa disertai terapi medis juga tak akan efektif.
Dalam ajaran agama Islam, seseorang yang sedang menderita penyakit fisik maupun psikis (kejiwaan), diwajibkan untuk berusaha berobat kepada ahlinya (dokter/psikiater), disertai dengan berdoa dan berdzikir (HR. Muslim, Ahmad, dan at-Tirmidzi).
Sebagai ilustrasi, dalam sebuah hadits disebutkan, suatu hari Rasulullah SAW kedatangan seorang Sahabat yang mengadu bahwa anaknya yang sakit dan tak kunjung sembuh. Padahal ia sudah banyak mengerjakan shalat, berdoa, berdzikir dan berpuasa, agar anaknya lekas sembuh. Nabi bertanya kepada Sahabat itu, apakah anaknya sudah dibawa ke tabib (dokter). “Belum,” jawab Sahabat itu. Kemudian Nabi menasehati agar segara mengobati anaknya itu kepada ahlinya (tabib/dokter), disertai dengan doa dan dzikir. Tak lama setelah berobat, anak itu pun sembuh.
Dapat ditarik kesimpulan, terapi secara ilmu pengetahuan (terapi medis) dan terapi keagamaan (doa dan dzikir) hendaknya dilakukan bersama-sama. Karena, Allah dan Rasul-Nya memang telah memerintahkan demikian. “Aku mengabulkan permohonan yang mendoa apabila berdoa kepada-Ku.” (Qs. al-Baqarah [2]: 186) “Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah sepanjang waktu.” (HR Aisyah RA).

 


Hindari Bakat Instan

Yayah Hidayah MPsi
Akhir-akhir ini, kita tengah dicekoki banyaknya ajang pencarian bakat ala “idol-idol”an maupun lomba-lomba. Dari lomba menyanyi, pemilihan bintang, dan sebagainya. Proses instan pencarian bakat-bakat segar industri musik dan hiburan di tanah air ini, sering mengesampingkan dampak dari pola yang serba instan itu.
Dengan acara seperti ini, remaja dan anak-anak akan semakin banyak yang bercita-cita menjadi penyanyi dan bintang sinetron. Mereka berpikir, dengan ikut audisi, bergaya, bernyanyi, dan bantuan sms dari pemirsa TV, ditambah sedikit keberuntungan, mereka akan langsung tenar dan menjadi juara.
Padahal seharusnya, remaja dan anak diberi stimulus proses berpikir dengan porsi lebih besar. Seperti melalui lomba matematika, fisika, karya ilmiah atau lomba-lomba penelitian lainnya.
Dalam pencarian bakat, semestinya dilakukan dengan proses alami. Karena, dengan proses yang terlalu singkat atau pendek, akan sulit untuk menilai keberhasilan yang sebenarnya. Anak yang berhasil dengan proses ini, biasanya akan cepat putus asa, cengeng dan bermental kurang kuat dalam perjalanan karis dan hidup selanjutnya.
Menurut para ahli (seperti Freeman/1963 maupun Bingham/1968), bakat merupakan suatu potensi atau kemampuan khusus dan lebih dominan yang dimiliki seseorang, yang dapat berkembang melalui proses pelatihan dan pendidikan intensif. Dengan proses ini, bakan akan menjadi sebuah kemampuan dan kecakapan nyata. Seseorang akan lebih baik prestasi dan keahliannya, jika ia mampu melakukan suatu pekerjaan sesuai bakat dan minatnya, ketimbang bidang yang tidak sesuai dengan bakatnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan bakat seseorang. Kemampuan atau potensi individu yang dibawa sejak lahir, atau faktor bawaan, sangat menentukan pembentukan dan perkembangan bakat seseorang. Tapi faktor ini saja tidak cukup untuk memaksimalkan bakat, karena faktor lingkungan juga berperan mengembangannya.
Dalam Islam disebutkan, “Setiap bayi lahir ke dunia dalam keadaan suci bersih,” tanpa dosa dan tanpa kecakapan yang khusus. Kemudian peran lingkungan keluarga sangat menentukan pengembangannya. Lingkungan dapat berfungsi sebagai stimulus bagi berkembangnya bakat, dan bisa juga sebaliknya, menjadi penghambat perkembangan bakat.
Bakat juga tak akan berkembang optimal, apabila tidak dibarengi dengan minat yang cukup tinggi terhadap bidang yang sesuai dengan bakat tersebut. Contohnya, seseorang yang memiliki bakat cukup tinggi sebagai ahli menggambar, tapi ia tak berminat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan menggambar, maka bakatnya itu tak akan berkembang maksimal.
Motivasi diri untuk mengekpresikan bakat, juga mempengaruhi usaha pengembangan bakat. Motivasi seseorang sangat erat kaitannya dengan usaha dan kerja keras untuk mencapai tujuan hidupnya. Selain itu, bakat seseorang juga akan berkembang pesat apabila ia memiliki nilai hidup yang berarti atau positif terhadap pengembangan bakatnya itu.
Faktor kepribadian sangat penting bagi perkembangan bakat seseorang. Seperti konsep diri, rasa percaya diri, keuletan, keteguhan dan kesabaran dalam berusaha, kesediaan untuk menerima kritik maupun saran untuk meraih cita-cita yang lebih tinggi.
Bakat akan berkembang dengan baik apabila sudah mendekati atau menginjak masa peka atau kematangannya. Tapi, tak ada kepastian kapan hitungan masa kematangan akan datang, masing-masing individu memiliki masa kematangan yang berbeda-beda.

 

Meredakan Amarah

Ardiman Adami M.Psi
Magister Profesi Psikologi Universitas Islam Indonesia, Mantan Ketua Umum Imamupsi Komisariat Universitas Islam Indonesia
Alkisah dalam sebuah peperangan, Ali ibn Abu Thalib RA sukses mengalahkan lawannya. Ia berhasil memukul pedang sang lawan hingga terlempar, dan menjungkalkan tubuh lawannya itu hingga tak berkutik di tanah. Lalu, Ali menghunuskan ujung pedangnya di leher sang lawan, menunggu untuk menusukkannya.
Namun tiba-tiba, lawan yang tergeletak itu meludahi wajah Ali. Ali sangat kaget, seraya lekas mengusap lelehan air ludah lawannya itu dari wajahnya. Ali terdiam sesaat, kemudian menarik pedangnya dan beranjak pergi meninggalkan lawan yang masih terlentang di atas tanah.
Seseorang lalu bertanya heran mengapa Ali malah pergi dan bukan membunuh musuh yang sudah menyerah kemudian meludahinya. Ali menjawab, “Aku diludahi, maka timbul amarah dan benci dalam hatiku kepadanya. Karena itu aku meninggalkannya.” Ia melanjutkan, “Betapa marahnya Tuhan kepadaku jika aku membunuhnya karena amarah dan kebencian.”
Sebuah tindakan yang sungguh sulit dimengerti. Ketika musuh sudah tidak berkutik, kemudian menghina dengan meludahi muka, malah diampuni. Alasan Ali sederhana: jihad fî sabîlillâh yang dilakukannya akan ternoda jika membunuh atas dasar nafsu pribadi.
Bolehkah Kita Marah?
Mengubur nafsu amarah atau ingin membalas dendam, butuh perjuangan berat. Karena banyak fakta memperlihatkan, nafsu membunuh dan mengumbar dendam tak dapat terelakkan. Apalagi ketika emosi sudah mencapai ubun-ubun, ditambah jika ada kesempatan atau pihak yang memprovokasi.
Ketika marah, orang yang berhati lembut bisa lekas berubah sangar. Yang pengasih pun bisa beralih menjadi brutal. Begitulah. Manusia memang gudangnya khilaf dan dosa. Mata sempurna, tapi penglihatan tertutup.
Kemarahan, kalau tidak dikelola dengan hati-hati, cenderung akan membuat kitakebablasan. Karena itu, kemarahan sangat tak patut untuk diumbar. Bolehlah kita marah tapi hanya sewajarnya.
Aristoteles pernah mengungkapkan, “Siapapun bisa marah. Marah itu mudah. Tapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah.”
Sementara ini kita sering mendengar asumsi keliru masyarakat yang menyebutkan, melampiaskan amarah adalah salah satu cara mengatasi amarah. Dengan melampiaskan amarah, katanya, akan dapat membuat orang yang tengah marah menjadi lebih baik dan nyaman perasaannya.
Padahal sesungguhnya tidak demikian. Sebab, banyak penelitian justru membuktikan bahwa melampiaskan kemarahan sangat sedikit, bahkan tak ada hubungannya dengan upaya meredakan amarah. Meski dengan melampiaskan amarah, orang yang mengalaminya akan merasa terpuaskan.
Daniel Goleman, dalam Emotional Intelligence, mengungkap hasil penelitian ahli psikologi Diane Tice dari Case Western Research University, yang menemukan bahwa melampiaskan amarah merupakan salah satu cara terburuk untuk meredakan amarah.
Ledakan amarah, biasanya justru akan memompa perangsangan otak emosional. Akibatnya, orang justru akan menjadi lebih marah dan kehilangan rasionalitas, bukan berkurang, jika amarahnya dilampiaskan.
Dari cerita banyak orang mengenai saat-saat mereka melampiaskan amarah kepada seseorang, tindakan itu terbukti justru memperpanjang suasana marah. Bukan menghentikannya.
Yang jauh lebih efektif untuk dilakukan saat seseorang diradang amarah, adalah terlebih dahulu menenangkan diri. Kemudian, dengan cara yang lebih konstruktif dan terarah, ia harus menghadapi orang yang bersangkutan penyebab kemarahan, dengan kepala dingin dan hati tulus untuk menyelesaikan masalah.
Dalam sebuah artikel berjudul “Forgiveness”, yang diterbitkan Healing Current Magazine edisi September-Oktober 1996, disebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa, akan menimbulkan emosi negatif dalam diri yang mengalaminya, dan merusak keseimbangan emosional, bahkan kesehatan jasmani mereka.
Lebih lanjut dipaparkan, ada kecenderungan manusia dapat menyadari bahwa kemarahan yang meradang mereka, benar-benar mengganggu diri mereka. Kesadaran ini timbul beberapa saat setelah mereka menyadari kemarahannya. Biasanya, mereka cenderung berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Langkah yang diambil adalah dengan memaafkan.
Disebutkan pula, banyak orang terbukti tak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan. Mereka cenderung lebih suka memaafkan diri sendiri dan orang lain.
Saatnya Menahan Amarah
Amarah terkait erat dengan sikap atau perilaku yang cenderung mengarah pada penolakan atau permusuhan kepada orang lain. Pintu utamanya adalah kontrol diri yang buruk, lalu mendatangkan sakit hati yang berat.
Semua itu berjalan sesuai naluri manusia untuk mempertahankan diri (gharîzah baqâ`). Dan naluri ini pada dasarnya dimiliki setiap manusia normal dan membutuhkan pemuasan. Walau jika tidak terpenuhi tak akan membawa kematian, namun kondisi ini akan menimbulkan kegelisahan. Karenanya, Islam memberi arahan yang sangat jelas untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia, termasuk amarah.
Dalam telaah psikologi Islam, Dr. Abdul Mujib mengungkapkan bahwa amarah termasuk salah satu bentuk gangguan kepribadian (personality disorder), yang dalam terminologi Islam klasik disebut sebagai akhlak tercela (akhlâq madzmûmah).
Sebagaimana gangguan kepribadian lainnya, amarah dapat mengganggu realisasi dan aktualisasi diri seseorang. Itu sebabnya seorang pemarah tak memiliki pertimbangan pikiran yang sehat. Ia juga tak memiliki kontrol diri yang baik dalam ucapan maupun perbuatan, bahkan ia cenderung berpikir negatif terhadap maksud baik orang lain.
Tidak berlebihan apabila Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya marah itu bara api yang dapat membakar lambung anak Adam. Ingatlah bahwa sebaik-baik orang adalah yang mampu melambatkan (menahan) amarah dan mempercepat keridhaan. Dan seburuk-buruknya orang adalah yang mempercepat amarah dan melambatkan ridha.” (HR. Ahmad)
Menurut al-Ghazali dalam karya mahsyurnya, Ihyâ` Ulûm ad-Dîn, amarah (ghadhab) disebabkan oleh dominasi unsur api atau panas (al-harârah) yang melumpuhkan peran unsur kelembaban atau basah (ar-ruthubah) dalam diri manusia. Karena itu, pengobatan gangguan ini bukanlah dilawan dengan kemarahan, tapi dengan kelembutan dan nasihat-nasihat yang baik.
Rasulullah berwasiat, “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api itu dapat dipadamkan dengan air. Maka barangsiapa yang marah hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud)
Hadits ini selain menunjukkan sumber amarah, juga terapinya yaitu wudhu. Karena air yang dibasuhkan pada bagian-bagian tubuh, dapat mendinginkan dan menghilangkan ketegangan urat syaraf. Selain itu, wudhu mengingatkan psikis manusia agar berzikir kepada Allah. Sebab zikir dapat menyembuhkan penyakit batin.
Kalau kita telusuri sejarah Rasulullah (sîrah), kita akan tahu bahwa menahan amarah adalah salah satu teladan yang beliau ajarkan. Masih ingat kisah ketika Rasulullah dilempari kotoran hewan oleh seorang Quraisy? Beliau tetap sabar dan berdoa semoga Allah membukakan hati orang tersebut.
Benar saja. Suatu hari Rasulullah mendengar orang itu sakit. Dengan kebesaran hati, beliau menjenguk orang itu dan menghiburnya. Akhirnya, orang itu pun masuk Islam.
Rasulullah memberi teladan tak ada satu kata buruk pun keluar dari mulut beliau atas ulah orang-orang kampung Thaif yang mengusir dan melempari beliau dengan batu hingga berdarah. Jika Rasulullah tak pernah marah, bahkan selalu bersikap lembut dan memaafkan orang yang menghinanya, bagaimana mungkin orang yang mengaku mencintai beliau berani melakukan hal sebaliknya?
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan bersegerahlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. Âli ‘Imrân [3]: 133-134)
Nah, mampukah kita mengamalkannya tanpa dengki, dendam, sakit hati, dan kemarahan? “Bukanlah disebut kuat orang yang pandai bergulat. Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika ia sedang marah,” begitu sabda Nabi SAW.

 

 

 

Manisnya Kejujuran

Ustadz Yusuf Mansur
Ketika yang lain bicara bahwa kejujuran itu pahit. Tuhan berkata, Tidak! Kejujuran selalu manis, hanya perlu kesabaran sebagai pupuknya.
Suatu hari, Parni mencoba membujuk suaminya, Riyadi, untuk terus terang kepada pimpinan di kantornya, “Sudah Mas, lebih baik Mas terus terang saja ke bos Mas. Sebelum semuanya terlambat. Biasanya sih kejadian nanti tidak seburuk yang kita bayangkan.”
Parni tak tega melihat suaminya gelisah. Ia meminta sang suami berterus terang telah melakukan pencurian di kantor baru-baru ini.
Sudah 15 tahun Riyadi bekerja sebagai karyawan di bagian pergudangan di kantornya. Nyaris tiada cacat berarti yang ia lakukan. Tapi suatu ketika, Agus, anak tertua Riyadi, sudah lebih dari empat bulan menunggak bayaran sekolah. Kalau tak lekas dibayar, Agus akan dikeluarkan dari sekolah.
Meski sudah kerja belasan tahun, tapi status maupun penghasilan Riyadi selalu tak berimbang dengan kebutuhan sehari-hari. Ia dan keluarga ‘cukup berhasil’ hidup hemat, selalu berusaha meredam keinginan dan nafsu.
20 tahun kehidupan rumahtangga pun ia lalui bersama istri dengan harmonis, jauh dari kegelisahan. Mereka menerima keadaan dengan lapang dada, nrimo.
Tapi, Riyadi juga masih manusia. Sesekali ia juga punya letupan perasaan tidaknerima. Hatinya suka berkata, bahwa kehidupannya telah dirampok oleh negara. Penghasilannya dirampok oleh begitu tingginya harga-harga kebutuhan hidup yang pokok.
Sering juga ia putus asa. Utamanya ketika tak berdaya membelikan anaknya obat demam menyembuhkan sakit panas yang tak turun-turun hingga tiga atau empat hari. Atau, ketika melihat anaknya yang sering termangu memandangi kawan-kawannya yang sedang jajan.
Ia juga hampir mengorbankan kejujurannya. Berkali-kali ia hampir terpedaya ucapan yang terlanjur memasyarakat: Untuk apa jujur? Jujur itu pahit! Jujur itu miskin! Jujur itu berarti hidup susah! Orang lain juga curang kok! Orang lain juga culas kok! Jadi buat apa kita jujur!
Iman dan kejujuran bisa juga menghilang dari diri Riyadi. Apalagi kalau diingat, ia telah bekerja tanpa penghargaan yang memadai. Tapi tak jarang ia segera ingat, semuanya adalah keputusan Allah. Dan Allah masih memberinya harapan hidup di negeri akhirat.
Kalaulah ia miskin di dunia ini, ia masih berharap kelak akan hidup bahagia di negeri kemudian. Begitu yang sering ia dengar dari para ustadz, bahwa keberadaan akhirat adalah sebagai penyempurna segala kejadian yang dianggap oleh manusia sebagai ketidakadilan.
***
Ya, Riyadi juga masih manusia. Kali ini ia begitu tersudut oleh kenyataan bahwa ia hidup di negeri yang manusianya sudah nafsi-nafsi, sendiri-sendiri. Ia juga harus menerima kenyataan, bahwa hidup enak di negeri ini saat ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
Ia juga putus asa karena pendidikan yang digelar oleh begitu banyak lembaga pendidikan di Tanah Air, hampir semuanya omong kosong. Kehadiran mereka bukan untuk mencerdaskan bangsa atau membantu sesama. Pendidikan kini sudah menjadi komoditas bisnis yang tak menaruh hati untuk kehadiran orang-orang seperti Riyadi.
‘Keputusasaan’ dan kebutuhan Riyadi ini untuk membayar sekolah anaknya yang sudah lima bulan belum terbayarkan, akhirnya menyeret dia untuk melakukan satu dua perbuatan nekad. Ia curi satu dua barang dari gudang di kantornya. Tapi ia tak mencuri lebih, meski punya kesempatan untuk itu. Ia hanya mencuri seukuran kebutuhannya.
Perusahaan Riyadi bergerak di bidang jual beli barang-barang elektronik. Dari radio kecil, hingga televise ukuran setengah kamarnya diproduksi dan dijual perusahaannya. Tapi Riyadi hanya mengambil mini compo untuk ia uangkan.
Ketika dilakukan pemeriksaan rutin oleh kantornya, Riyadi luput. Ia tak masuk daftar orang-orang yang dicurigai. Lantaran tak ada orang yang meragukan kejujuran Riyadi. Termasuk atasannya.
Masalah pencurian ini akhirnya di”peti-es”kan. Lagi pula, barang yang hilang itu tidak besar, menurut bosnya. Kejadian tersebut hanya dijadikan pelajaran agar kewaspadaan ditingkatkan lingkungan kantornya.
Sang waktu pun berjalan sebagaimana biasa. Masalah bayaran sekolah Agus, anaknya, terbayarkan oleh hasil jual barang curian. Riyadi bernafas lega. Satu masalah selesai. Paling tidak ia sudah tidak diuber-uber tagihan SPP sekolah anaknya.
Tapi kemudian hadir masalah lain. Bahkan kali ini lebih menyiksa perasaannya. Riyadi terus diburu perasaan bersalah!
Seperti umumnya rakyat kecil, kalau bersalah itu akan terus dianggap sebagai kesalahan. Kehidupannya pun menjadi tidak tenang, dan terus gelisah. Berbeda sekali dengan kebanyakan orang terpandang, terhormat, atau pandai di negeri ini. Bila berbuat kesalahan, lebih sering menganggapnya sebagai ‘kesalahan manusiawi’, atau ‘kesalahan yang tidak terlalu prinsip’. Mereka pun bisa tenang. Bahkan tetap tenang untuk terus menerus melakukan kesalahan-kesalahan baru, dan berusaha menutupinya dengan ‘baju kewenangan’, atau ‘baju kekuasan dan kepintarannya’.
Ya, Riyadi hanya ‘orang kecil’ yang berjiwa besar. Ia bersalah dan merasa bersalah. Kegelisahan dan ketidaktenangan itu semakin menjadi-jadi. Ia khawatir, Allah sangat marah kepadanya dan akan menghadirkan kesulitan-kesulitan yang lebih besar lagi kepadanya.
Ia sangat khawatir ajalnya akan sampai, sementara ia sedang melakukan kesalahan yang menurutnya sangat fatal. Ia merasa upayanya untuk berjalan lurus akan sia-sia. Di usianya yang akan memasuki paruh baya, ia malah menghanguskan kebanggaan diri yang dulunya susah, tapi mampu tak memakan harta yang haram.
Dirinya memang susah, tapi ia dan keluarga tak pernah menyusahkan orang lain. Dirinya bodoh, tapi tak pernah membodohi orang lain.
Setelah mencuri, semua prinsip ini terasa terlanggar. Ia seakan melihat Allah sedang marah kepadanya, dan setan justru tengah menertawai dirinya yang dapat goyah oleh kebutuhan hidup. Ketika masalah pencurian diputihkan oleh pihak kantornya, ia justru melihatnya sebagai kemarahan Allah yang tertunda.
Sejak itu, hari-hari ia lalui dengan stres. Mukanya selalu kusut. Hatinya sebentar-bentar dag-dig-dug. Engga boleh mendengar kucing jatuh dari meja atau ketukan pintu dari para tetangga, hati dan batinnya terus tersiksa. Ia merasa sedang duduk di atas kursi mewah yang berduri.
Dalam situasi inilah sang istri mencoba menyarani untuk berterus terang kepada pihak kantor. Kalau memang dipecat, ya sudahlah dipecat. Siapa tahu akan ada kehidupan yang lebih baik. Syukur-syukur jika bisa dimaafkan.
Semua keluarganya mendukung nasihat sang istri ini. Tak terkecuali Agus, anaknya. Ia bahkan bilang, “Kalo tau Bapak membayar SPP dari uang haram,mendingan Agus berhenti sekolah!”
Agus khawatir, kalau ia disekolahkan lewat uang haram, maka kepintarannya kelak akan menjadi bumerang buat diri dan keluarganya sendiri. Bila melanjutkan sekolah dengan uang haram, ia khawatir akan dekat dengan hal-hal yang Allah haramkan. Luar biasa!
***
Mantap sudah niat Riyadi untuk segera berterus terang kepada pihak kantornya. Apapun yang akan terjadi terjadilah, kata batinnya. Ia hanya berharap Allah mau mengampuni. Itu saja!
Ia tak berharap bos akan mengagumi keberaniannya berterus terang. Ia justru siap dengan segala risiko, sepahit apapun. Daripada nanti ditunda hukumannya di akhirat, begitu tekadnya. Riyadi juga yakin, jika kebusukan lebih lama disimpan, maka baunya akan lebih busuk lagi.
Akhirnya, begitu Riyadi bicara keadaan yang sebenarnya kepada pihak kantor, ia pun dipecat! Alasan si bos, ia tidak pernah menolerir satu kejahatan pun terjadi di kantornya.
Sampai di sini, tidak ada happy ending. Riyadi yang selama ini digaji murah, tak diberi tunjang kesehatan apalagi keperluan-keperluan mendadak, sudah 15 tahun menjaga kejujuran dan loyalitas kepada perusahan, tetap harus menelan ludah pahit. Dipecat!
Riyadi sadar, ia hanya orang kecil. Ketiadaannya tak akan berpengaruh banyak bagi kelancaran gerak perusahaan. Untung sebelumnya ia sudah memersiapkan diri untuk tidak membayangkan si bos akan mengagumi kejujurannya. Jadi, Riyadi tak perlu sakit hati.
Tapi Allah tidak buta! Ketika Dia melihat ‘perjuangan’ Riyadi yang luar biasa ini, ditambah keikhlasannya menjalani kehidupan, saat itu pula keputusan terbaik-Nya Dia turunkan untuk Riyadi.
Allah kemudian menunjukkan kebenaran perkataan-Nya, bahwa ujung kehidupan antara yang baik dan yang jahat itu berbeda. Riwayat kehidupan di kemudian hari antara orang yang menjaga iman dengan yang menukarnya dengan dunia tak akan sama. Allah pun menunjukkan kebesaran-Nya pada keluarga Riyadi.
Dengan modal pesangon yang hanya dua juta rupiah, Riyadi membuka bengkel motor. Rupanya inilah ‘jalan hadiah’ dari Allah. Bengkelnya maju pesat, lebih maju dari yang ia bayangkan.
Dulu, ia sekadar berprinsip, jangan sampai uang pesangon habis sekadar untuk makan. Kejujuran Riyadi membuat para pemilik kliennya percaya kepada Riyadi untuk mengurusi kendaraannya yang rusak.
Sampai hari ini, bengkel milik Riyadi memang tetap ‘kecil’. Tapi, antrean pelanggan yang minta dilayani sangat banyak. Bahkan mereka rela masuk daftarwaiting list, menunggu pelayanan.
Bengkel Riyadi berada di pertigaan jalan antara Ketapang dan Gondrong, di wilayah Tangerang, Banten. Anaknya, Agus, kini juga sudah mengelola bengkel sendiri di bilangan Ciledug, Tangerang. Brand yang mereka pakai adalah “Berkah Motor”.
Bagi Riyadi dan keluarga, kejujuran berarti keberkahan. Dan ketidakjujuran berarti akan menghilangkan keberkahan. Kaya tapi tidak berkah, sama saja dengan kekayaan yang sia-sia, kekayaan yang tak bisa dinikmati.
Ada ujung kehidupan yang manis, yang akan Allah hadiahkan untuk semua orang yang bisa memelihara dirinya dan menghargai Tuhannya. Sementara, ada malapetaka yang besar dan ujung kehidupan yang pahit, untuk siapa saja yang tidak memelihara diri dan melupakan Tuhannya. Sang waktu yang akan berbicara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar